Komunikasi Politik
Lantas bagaimana orang Madura berkomunikasi dalam sebuah konstalasi atau kontestasi politik. Jelas sudah. Jurus komuni kasi politik Si Pencari Ikan adalah jurus Ombak dan Angin. Ber dasarkan hierarkhi petuhan ketiga, hakikatnya orang Madura amat sangat patuh pada penguasa dan birokrasi. Orang Madura cen derung diam dan menerima apapun yang menjadi putusan dan kebijakan penguasa. Maka dalam konstalasi politik Madura amat jarang kita jumpai berbagai bentuk artikulasi, agregasi atau bahkan protes politik dari rakyat ke penguasa yang notabene itu betul-betul lahir dari rahim rakyat.
Sekalipun berbagai kebijakan penguasa itu mungkin amat merugikan rakyat, kecenderungan orang Madura adalah diam dan menerima. Diam adalah bentuk lain sebuah komunikasi politik yang bisa bermakna apa saja. Ketakutan, ketidaktahuan, ketidakbisaan dan makna lainnya. Tapi diamnya orang Madura adalah makna lain dari kepatuhan. Kepatuhan kepada rato, penguasa, birokrasi yang dalam titik tertentu akan bergeser menjadi ketidakmautahuan, keapatisan, apatisme komunikasi politik.
Dan situasi menjadi semakin sulit manakala pasca reformasi terjadi silang saling perkawinan hierarki kepatuhan dalam konstalasi politik Madura. Dimana di semua wilayah empat kabupaten di Madura, hierarkhi kedua (kyai) bersenyawa dengan hierakhi ketiga (penguasa). Kyai menjadi Bupati. Bahkan dalam proses kompetisi untuk mejadi penguasa mat lazim kita jumpai bagaimana tiga kekuatan yang memiliki legitimasi untuk “dipatuhi” saling bersenyawa. Kyai menjadi Blater dan menjadi Bupati. Atau Kyai menjadi Bupati dengan bantuan Blater. Atau Blater menjadi Bupati dengan bantuan Kyai.
Sebuah koalisi pemiliki legitimasi untuk “dipatuhi”, yang menjadikan rakyat Madura semakin kehilangan ruang komunikasi politik untuk menyampaikan berbagai pesannya, akibat begitu kokoh dan legitimate-nya sosok penguasa yang pada saat bersamaan menyandang dua atau tiga atau bahkan empat kekuatan legitimasi untuk “dipatuhi”. Bahkan ketika rakyat telah menyadari betul bahwa sesungguhnya “kepatuhannya” hanya dimanfaatkan oleh elit politik, birokrasi atau penguasa, orang madura masih sangat sulit untu keluar dari hegemoni hierarkhi kepatuhan ini. Maka dalam berbagai tulisannya Wiyata[16] seringkali mengajak orang Madura untuk merenungkan lagi makna hierarkhi kepatuhan itu, bukan dalam makna yang buta, tapi dalam makna yang lebih komtemplatif dan rasional.
Dalam pemahaman sederhana saja dan ini dibuktikan oleh banyak riset yang dilakukan oleh banyak lembaga survei, dalam konteks komunikasi politik, pesan politik yang disampaikan oleh orang Madura hakikatnya adalah pesan yang disampaikan oleh Orang Tuanya, Kyainya, Birokratnya (aparat, klebun dan lain-lain) dan dalam titik tertentu adalah pesan jagoannya, blater-nya. Maka dalam kontestasi politik Madura, muncul adagium sederhana, “jika ingin mendapatkan suara orang Madura, dapatkan dulu suara Orang tua-nya, kyai-nya, klebun-nya dan blaternya”.
Apakah sesederhana itu? Tentu saja tidak. Karena dinamika politik dunia, nasional, regional dan lokal saling silang mempengaruhi. Konstalasi politik dan komunikasi politik mutakhir makin kompleks untuk disimpulkan atau dijelaskan hanya dari satu sudut pandang saja. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Si Pencari Ikan itu memiliki jurus Ombak dan Angin. Memang benar ombak dan angin orang Madura bisa dikendalikan oleh kekuatan hierarkhi kepatuhan. Tapi Ombak dan Angin juga terjadi karena banyak faktor. Salah satu faktor utamanya adalah tinggi rendahnya tekanan.
Maka kualitas tinggi rendahnya tekanan kekuatan hierakhi kepatuhan jelas akan berpengaruh pada tinggi rendahkan gemuruh Ombak dan Angin dalam berkontestasi dan berkomunikasi politik. Apalagi pada saat bersamaan juga ada tinggi rendahnya tekanan faktor lain. Diantaranya peristiwa politik yang terjadi di tempat lain baik dalam skala global, nasional, regional maupun lokal. Juga faktor transformasi keilmuan dalam dunia pendidikan formal yang makin banyak diikuti oleh generasi muda Madura. Belum lagi media massa, new media (internet, social media dll), perubahan gaya hidup, kelas menengah dan faktor-faktor lainnya yang lambat laun pengaruhnya pasti akan dibuktikan melalui berbagai studi. Tau bahkan juga telah dibahas oleh teman-teman yang lain dalam buku ini.
Ombak dan Angin mempunyai potensi untuk meniduran tapi sekaligus juga memiliki potensi menghancurkan. Jika Ombak dan Angin itu sudah seirama dengan kekuatan penekannya, maka ia akan bergerak tanpa bisa dicegah, bahkan oleh kekuatan hierakhi kepatuhan sekalipun. Maka tak heran jika di beberapa daerah di Madura (terutama bangkalan) mulai terjadi pemberontakan komunikasi politik dari sekelompok rakyat kepada para penguasa. Karena satu yang harus di ingat, bahwa pada sisi terdalam Si Pencari Ikan ada kerinduan untuk “dipatuhi” sebagai penguasa, maka jika ini sulit untuk diraih, menjadi “teman” dari penguasa adalah salah satu bentuk alternatif. Teman penguasa baru atau teman caalon penguasa baru yang melawan, mengalahkan penguasa lama.
Pada Akhirnya Pulang Juga
Sebagaimana yang tersirat dalam lagu tanduk majeng, Sejauh apapun dan selama apapun Si Pencari Ikan pergi berlayar mencari Ikan, pada akhirnya akan kembali pulang juga. Pada akhirnya hasil tangkapan ikannya akan di bawa kembali pulang juga. Ya, sejauh dan selama apapun orang Madura pergi merantau pada akhirnya dalam momen-momen tertentu ia akan torun, akan mudik[17], akan pulang. Membangun rumahnya di kampung dengan megah, untuk membuktikan keberhasilannya dalam perantauan, sekalipun nantinya rumah itu akan ditinggal merantau kembali.
Kalaupun hendak berangkat naik haji umumnya juga ber
ang kat dari kampung halaman bukan kampung perantauan. Kalau pun terpaksa harus berangkat dari kampung perantauan pasti akan mengundang seluruh kerabat dari kampung halaman untuk mengantar kepergiannya. Karena Ikan yang sudah di dapat, “kohormatan” yang sudah diperoleh melalui berbagai daya upaya dan mental Ombak dan Angin hanya akan bermakna dan bisa dimaknai jika dia bawa kembali pulang. Karena hanya kerabatnyalah, hanya orang Madura-lah yang bisa memahami dan mengakui makna Ikan yang telah berhasil di tangkap oleh Si pencari Ikan. Bukan orang lain, bukan di tempat lain. Pun demikian dalam konteks komunikasi politik bagi Si Pencari Ikan, saat pulang, saat di rumah, saat di Madura-lah tempat terbaik, bukan atau belum di tempat lain.
Ole…olang, Paraonah alajereh (Ole… olang, perahunya mau berlayar)
Ole…olang, Alajereh ka Madureh (Ole… olang, berlayar ke madura)
_______________________
[1] Lihat Wiyata 2013
[1] Lihat bagaimana Wiyata merasa prihatin dengan kecenderungan orang Madura untuk hidup glamour dan berfoya-foya merayakan keberhasilannya di rantau saat mudik. Wiyata 2013 : 55
DAFTAR PUSTAKA
Wiyata, A.Latif (2013) Mencari Madura, Jakarta: Bidik Phronesis Publishing.
Rifai, Mien Ahmad (2007) Manusia Madura, Yogyakarta: Pilar Media
De Jonge, Huub (1989) Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkem bangan Ekonomi dan Islam,Jakarta : Gramedia
Handoko Putut (2004) Babad Sejarah Madura, Tesis, Universitas Negeri Surabaya.
Nadjib Emha Aninun (2014) Asal-usul Madura, https://www. youtube.com/watch?v=2dZ9rIw_TBc
Nadjib, Emha Aninun dan Kyai Kanjeng (2014) Sejarah Madura, https://www.youtube.com/watch?v=4cL92bpUGDY
Maharani, Rizki Septia, Arsitektur Etnik Madura, http://elearning. upnjatim.ac.id/courses/PERANCANGANARSITEKTUR5/ work/tugas_1/4e7be10dbfac0Perancangan_Arsitektur_V.pdf
Rozaki, Abdur, Social origin dan Politik Kuasa Blater di Madura, http://kyotoreview.org/issue11/socialorigindanpolitikkuasa-blater-di-madura/
WIKIPEDIA
Babad Tanah Madura, Koleksi Universitas Dr. Soetomo Surabaya
Sumber tuliasan: MADURA: Masyarakat, Budaya, Media, dan Politik, Penerbit:Puskakom Publik bekerjasama dengan Penerbit Elmatera 2015