Kejayaan Mojopahit Sampai Masa Kekuasaan Mataram
Pada saat Kerajaan Mojopahit sedang mengalami masa kejayaannya, pengaruh keberadaan kerajaan yang terletak di Kabupaten Mojokerto itu terekam di Sampang. Ini bisa dilihat dari ditemukannya Candra Sangkala di situs Pangeran Bangsacara Takobuh, Kelurahan Polagan Sampang. Candra Sangkala tersebut, berupa angka 1305 tahun Caka yang tertoreh di sebuah batu berukir, yang berarti sama dengan tahun 1383 M. Angka tersebut menandakan tahun berdirinya sebuah candi Budha dengan relief rangkaian cerita Pangeran Bangsacara Ragapadmi. Isinya sarat dengan pesan-pesan pendidikan moral dan agama.
Menurut para pakar sejarah, komunitas masyarakat seperti ini sudah mulai berstruktur walaupun statusnya mudah sekali berubah-ubah. Biasanya diawali dengan Kamituwo, lalu menjadi Kademangan, setelah itu berubah menjadi Padukuhan, dan akhirnya berubah menjadi sebuah Kerajaan.
Sedangkan referensinya masih berupa pitutur lisan, tetapi sudah ada yang sebagian sempat menulis pada generasi kelima setelah komunitas tersebut atau sekitar 300 tahun setelahnya.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah, raja Madura pertama yang sempat memerintah saat itu adalah Ario Lembu Peteng sekitar abad 14 M. Dia adalah putra dari Prabu Brawijaya V (Stamboom Van Het Geslachi Tjakra Adi Ningrat, hal 79). Lalu, berturut-turut kerajaan Madura diperintah oleh Ario Menger, Ario Patikal, Nyai Ageng Boedo dan yang terakhir adalah Kiai Demong sekitar tahun 1531 M.
Saat pemerintahan dipegang oleh Kiai Demong, sekitar tahun 1531-1623 M, istana kerajaan Madura yang awalnya berada di Madegan Polagan Sampang, dipindah ke Pelakaran Arosbaya Bangkalan. Tetapi, sekitar tahun 1623 M ketika Madura berhasil ditaklukkan oleh kerajaan Mataram, istana kerajaan dipindahkan kembali ke Madegan Polagan Sampang.
Menurut bukti-bukti sejarah, kiai Demong merupakan salah satu raja-raja keturunan Majapahit yang sudah memeluk agama Islam. Ia adalah kakek dari Panembahan Lemah Duwur (1531-1592), yang kemudian dikenal sebagai pendiri masjid Madegan Polagan Sampang, yang sampai saat ini masih dikramatkan oleh sebagian besar masyarakat, sehingga sering dijadikan tempat melakukan sumpah pocong oleh hampir semua kalangan.
Panembahan Lemah Duwur dikenal sebagai seorang raja yang berjasa meletakkan dasar-dasar kepemimpinan Islam di Madura, khususnya di Kabupaten Sampang. Ia adalah ayah dari Pangeran Tengah (1592-1621) yang beristerikan Ratu Ibu I, yang sampai saat ini makamnya berada di makam raja-raja Madegan Polagan Sampang.
Sedangkan Pangeran Tengah adalah ayah dari Raden Praseno yang dikenal sebagai Pangeran Cakraningrat I (1624-1648), yang juga menantu kesayangan dari Sultan Agung. Sebab, selain beristrikan Ratu Ibu II, salah satu puteri Sultan Agung, ia merupakan salah seorang panglima perang Mataram yang sangat handal, sehingga ia dimakamkan di makam raja-raja Imogiri Yogyakarta.
Sementara itu, Candra Sangkala lain juga ditemukan di situs Pangeran Santomerto. Candra Sangkala itu menunjukkan tahun Caka wafatnya Pangeran Santomerto yang juga dikenal sebagai paman Raden Praseno, yang mengasuhnya sejak kecil setelah Pangeran Tengah (ayahanda R. Praseno) gugur dalam pertempuran. Candra Sangkala ini berupa kayu berukir angka dengan memakai hurup Arab yang menunjukkan tahun Caka 1496 atau sama dengan tahun 1574 M.
Raden Praseno Jadi Pijakan Hari Jadi Kota Sampang
Candra Sangkala kelima adalah Candra Sangkala yang terukir di daun pintu sebelah kiri pada Gapura Agung makam Ratu Ibu I yang ada di Madegan Kelurahan Polagan, Sampang. Candra Sangkala ini berupa relief berbentuk ulang naga yang terpanah tembus dari kepala sampai ekor. Pakar sejarah membaca Naga Kapanah Titis Ing Midi sebagai angka 1546 Caka atau sama dengan 1624 M.
Ratu Ibu I adalah istri Pangeran Tengah. Dia juga ibu kandung Raden Praseno. Sedangkan angka tahun 1624 M menandakan tahun diangkatnya Raden Praseno oleh Sultan Agung menjadi Raja Mataram pertama yang berkuasa di wilayah Madura Barat dengan gelar Cakraningrat I yang memerintah dari tahun 1624 M sampai 1648 M. Berdasarkan bukti-bukti sejarah, pengangkatan Raden Praseno menjadi raja Madura Barat dinobatkan langsung oleh Sultan Agung pada tanggal 12 Robiul Awal 1045 H atau bertepatan dengan tanggal 23 Desember 1624 M. Prosesi penobatannya, dilakukan bertepatan dengan acara “Grebek Maulid” sebagai acara sakral keagamaan setiap tahun yang selalu diadakan di lingkungan Keraton Surakarta. Biasanya dalam acara ini, dilakukan kirab pusaka kerajaan dan pejabat-pejabat keraton yang akan dipromosikan menjadi penguasa di suatu daerah.
Menurut salah seorang ahli sejarah di Sampang Drs. Ali Daud Bey, di dalam beberapa literatur karya para sejarawan Belanda, di antaranya P. Cakraningrat Vorstenhuis van Madura maupun Madura en Zyn Vorstenhuis, memang banyak disebutkan peristiwa-peristiwa kesejarahan kerajaan Madura Barat yang ada di kota Sampang.
“Berdasarkan literatur itu, akhirnya kita bisa mengetahui bahwa momentum pengangkatan Raden Praseno menjadi raja Mataram di wilayah Madura Barat, merupakan tonggak sejarah berdirinya sebuah pemerintahan pertama yang sah secara yuridis dan de fakto menurut hukum ketatanegaraan. Sehingga, sampai saat ini tanggal 23 Desember tersebut ditetapkan sebagai hari jadi kota Sampang,” jelas Daud.
Selain menjadi raja di Madura Barat, ternyata Cakraningrat I juga diangkat oleh Sultan Agung menjadi panglima perang Kerajaan Mataram, serta diambil menantu dikawinkan dengan seorang putrinya yang bernama Ratu Ibu II. Dalam menjalankan tugas-tugasnya menjadi seorang panglima perang, Cakraningrat I dibantu oleh salah seorang putranya dari selir, yaitu Raden Maluyo yang dikenal sebagai ayah dari Pangeran Tronojoyo.
Ketika Cakraningrat I yang dibantu R. Maluyo sedang melaksanakan tugas dari Sultan Agung guna memerangi pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh Pangeran Alit, kedua panglima perang Mataram ini akhirnya gugur di medan pertempuran dan dimakamkan di makam raja-raja Mataram di Imogiri Surakarta.
Sebagai cucu dari Cakraningrat I atau putra dari Raden Maluyo, menurut urutan garis keturunan kerajaan Madura Barat, sebenarnya Pangeran Tronojoyo paling berhak meneruskan dinasti kerajaan Pangeran Cakraningrat I (kakeknya). Namun, karena ambisi dari Raden Undagan (Cakraningrat II) yang dibantu penuh oleh pihak Belanda saat itu, akhirnya tatanan dinasti Cakraningrat hancur dan Pangeran Tronojoyo tersingkir dari singgasana kerajaan.