Trunojoyo Memberontak, Kerajaan Dipindah ke Bangkalan
Naiknya Raden Undagan menjadi Raja Madura Barat dengan gelar Pangeran Cakraningrat II (1648-1707 M), ternyata tidak lepas dari campur tangan dan politik devide et impera penjajah Belanda. Intervensi Belanda dalam masalah intern pemerintahan Kerajaan Mataram terjadi setelah kekuasaan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Setelah Sultan Agung mangkat sekitar abad 16 M, tampuk kekuasaan Kerajaan Mataram ternyata tidak diserahkan kepada menantu kesayangan Sultan yaitu Pangeran Cakraningrat I, tetapi justru diserahkan kepada Sunan Amangkurat I, adik ipar Sultan Agung sendiri. Sedangkan berdasarkan bukti-bukti sejarah, Sunan Amangkurat I ini dikenal sebagai Raja Mataram yang mau bersekutu dengan penjajah Belanda.
Sehingga, ketika Pangeran Cakraningrat I dan Raden Maluyo, ayahanda Pangeran Tronojoyo, gugur di medan pertempuran membela kedaulatan Mataram saat terjadi pemberontakan oleh Pangeran Alit, ternyata Sunan Amangkurat I memilih mengangkat Raden Undagan yang juga paman Pangeran Tronojoyo sebagai raja di Madura Barat dengan gelar Cakraningrat II.
Padahal, bardasarkan garis keturunan kerajaan Madura Barat, sebenarnya Pangeran Tronojoyo paling berhak meneruskan dinasti kerajaan kakeknya Pangeran Cakraningrat I. Namun, karena ambisi kedua kakek dan pamannya ini serta politik devede et impera yang dilakukan Belanda, akhirnya Pangeran Tronojoyo tersingkir dari kursi singgasana Kerajaan Madura Barat.
Akhirnya, Pangeran Tronojoyo pun melakukan pemberontakan. Ini terjadi sekitar tahun 1648 M. Pangeran Cakraningrat II lalu memindahkan kembali istana Kerajaan Madura Barat dari Madegan, Kelurahan Polagan, Sampang ke Desa Pelakaran, Arosbaya, Bangkalan. Karena pada saat itu, pasukan Pangeran Tronojoyo yang tidak mau bekerja sama dengan penjajah Belanda berhasil membumihanguskan istana kerajaan di Madegan.
Sejak saat itulah, sejarah keberadaan dinasti Kerajaan Madura Barat yang pernah mengalami masa kejayaannya di Madegan, Polagan, Sampang mulai memudar, bahkan menghilang. Ditambah lagi, setelah Pangeran Tronojoyo gugur dalam medan pertempuran melawan kebatilan yang dilakukan kedua kakek dan pamannya serta mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi.
Menurut ahli sejarah Sampang Drs Ali Daud Bey, sampai saat ini silsilah keturunan Pangeran Tronojoyo yang dilahirkan di Kampung Pebabaran Rongtengah, Sampang ini, belum ditemukan. Karena dari buku-buku literatur para pakar sejarawan Belanda, tidak ada satu pun yang menulis tentang perjuangan Pangeran Tronojoyo dalam melakukan pemberontakan mengusir penjajah Belanda dari daerah kekuasaan Mataram.
Setelah abad 17 M, status Kabupaten Sampang menjadi sebuah daerah Kadipaten, dengan Adipatinya masing-masing, R. Temenggung Purbonegoro, R. Ario Meloyokoesuma (Reight Besfuurder Gebheid). Dan sejak 15 Januari 1885 dipimpin oleh Adipati R. Temenggung Ario Koesuma Adiningrat (Zelfstending).
Lalu, berturut-turut dipimpin oleh R. Temenggung Ario Candranegoro, R. Adipati Ario Secodiningrat, R. Ario Suryowinoto, dan R. Temenggung Kartoamiprojo. Sedangkan pada tahun 1929- 1931 M dipimpin oleh R. Ario Sosrowinoto. Sebelum akhirnya pada sekitar tahun 1931-1949 M, Kadipaten Sampang menjadi sebuah daerah Kawedanan di wilayah Kabupaten Pamekasan.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah dalam usianya yang ke-375 ini, dengan kondisi SDA dan SDM yang sangat terbatas, serta kesiapan infrastruktur dan suprastruktur yang jauh dari memadai, sudah siapkah Kabupaten Sampang menyongsong pelaksanaan UU Otonomi Daerah dan UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Paling Tidak Siap Songsong Pelaksanaan UU Otonomi Daerah
Walaupun tahun ini usianya sudah mencapai 375 tahun, Kabupaten Sampang masih merupakan daerah tingkat II yang menempati urutan paling buncit dalam hal pengumpulan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Timur. Hal ini, bisa dilihat dari perbandingan antara pengumpulan PAD tahun anggaran tahun 1998/1999 yang hanya sebesar Rp 1,2 miliar, sedangkan biaya pengeluaran rutin tahun yang sama sebesar 2 milyar.
Dari perbandingan di atas, bisa disimpulkan bahwa anggaran rutin selama ini berjalan minus, sehingga selalu menjadi beban bagi pemerintah daerah. Ini artinya, untuk membiayai kebutuhan rutin sehari-hari saja guna menjalankan roda pemerintahan, pemda Sampang mengalami devisit anggaran sebesar Rp 800 juta. Hal ini, belum lagi ditambah dengan kebutuhan-kebutuhan lain di luar kebutuhan rutin, yang tidak sedikit pula menyedot anggaran belanja pemda. Menurut Bupati Sampang H. Fadhilah Budiono saat menyampaikan presentasi makalahnya dalam acara Semiloka Nasional di UNIBANG beberapa waktu lalu, untuk menggerakkan roda perekonomian serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas, diperlukan kerja keras dan langkah-langkah strategis dari seluruh aparat pemerintah dan masyarakat, khususnya penanganan sektor-sektor yang selama ini belum tergarap.
Disadari oleh Fadhilah, keterbatasan dana pembangunan sebagaimana tertuang dalam UU 22/99 tentang Otonomi Daerah dan UU 25/99 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka sangat diperlukan untuk mendapatkan alokasi dana khusus yang memadai. Sebab menurutnya, bila dibandingkan dengan tiga daerah lain di Madura, Kabupaten Sampang merupakan daerah yang potensi ekonominya paling terbatas.