Dalam sekejab, kehamilan Pottrè Konèng telah tersebar. Prokontra pun terjadi. Tidak mungkin Pottrè Konèng hamil kalau tidak melakukan hubungan suami isteri, tetapi yang lain pun punya alibi. Bukankah Pottrè Konèng dijaga oleh tiga pengawal dalam pertapaannya? Tidak mungkin orang sebaik Pottrè Konèng melakukan hal yang tabu.
Semula Pangeran Saccadiningrat ingin menghukum mati Pottrè Konèng . Dengan pertimbangan dari permaisuri, ketiga pengawal yang berkisah tentang Pottrè Konèng di tempat pertapaannya, akhirnya sang Raja memutuskan untuk mengasingkan Pottrè Konèng . Raja Saccadiningrat tidak ingin lagi bertatap muka dengan Pottrè Konèng .
Meski sangat terpukul, hatinya sakit bagai dicabik-cabik, Pottrè Konèng menerima hukuman dari ayahandanya. Dalam hati Pottrè Konèng berkata, “Siapalah diri ini. Aku bukanlah Maryam yang melahirkan Nabi Isa. Aku hanya puteri raja yang mendapat musibah dan harus menanggung derita. Yang pasti, aku bukan wanita pelacur.” Ditekannya ulu hatinya sendiri yang terasa begitu sakit, saat kata lacur tiba-tiba keluar dari bibinya yang indah.
Pottrè Konèng dibuatkan gubuk sederhana jauh dari lingkungan kerajaan. Di sana, bersama seorang dayang yang setia, ia menghabiskan hari-harinya. Menunggu kelahiran putera. Mimpi itu memang terasa indah. Ingin sekali ia berjumpa dengan lelaki tampan, gagah, dan sakti mandraguna. Pangeran Adipoday selalu terbayang dalam benak Pottrè Konèng . Apalah daya, itu semua hanya mimpi. Ilusi kembang tidur yang tidak mungkin ada dalam kenyataan.
Setelah genap sembilan bulan, kehamilan Pottrè Konèng telah sampai pada kelahiran. Tanpa rasa sakit, tanpa adanya aliran darah, bahkan tanpa ari-ari, bayi mungil yang begitu rupawan pun menghentak tangis. Diciumnya bayi yang masih merah itu dengan lembut. Dan dengan derai air mata, Pottrè Konèng berkata kepada bayinya.
“Anakku, setulus cinta ibu kepadamu. Engkau adalah buah cinta di atas kerinduan yang mendera. Maafkan Ibu, Anakku!”
Ingin sekali Pottrè Konèng terus memeluk puteranya, tetapi keselamatan bayinya terancam. Ia khawatir ayahandanya mengirimkan seseorang untuk membunuh bayi yang tidak berdosa tersebut. Dengan berat hati, Pottrè Konèng berkata kepada dayangnya.
“Mbok, bawalah bayi ini ke dalam hutan. Letakkan ia di tempat yang aman. Hati-hati, jangan sampai ketahuan siapa pun.”
Dayang Pottrè Konèng patuh terhadap perintah Ratu. Ia pun melaksanakan apa yang Pottrè Konèng inginkan. Dengan mengendap-endap, dayang itu membawa bayi yang masih merah ke sebuah tempat yang aman. Jauh di dalam belantara hutan. Di bawah pohon yang rindang, ia meletakkan bayi yang masih terlihat damai dalam tidurnya. Dibuatkan sebuah bivak dari ranting-ranting pohon agar terhindar dari marabahaya. Setelah dirasa aman, dayang pun kembali menemui Pottrè Konèng .
“Bagaimana, Mbok?” Pottrè Konèng tidak sabar bertanya kabar kepada dayang.