“Tidak Mbok. Ini adalah sesuatu yang akan terjadi seperti satu tahun yang lalu. Aku khawatir Mbok!”
“Tidak usah khawatir, Ratu. Semua sudah diatur oleh takdir.”
Benar saja. Mendengar puterinya kembali hamil, Raja Saccadiningrat murka tiada tara. Beliau memerintahkan perdana menteri untuk membawa Pottrè Konèng ke hadapannya, di depan para punggawa kerajaan, di hadapan permaisuri, dan dayang-dayang, murka sang raja begitu menggelegar.
“Kemarilah, Pelacur!” Suara kemarahan Pangeran bagai halilintar. Dengan wajah tertunduk, Pottrè Konèng menuju ke hadapan ayahandanya. Tanpa suara, tanpa kata-kata. Pilu dalam diam yang begitu dalam. Bukan maksud sang Puteri untuk berbuat kemungkaran. Tidak ada keinginan untuk berbuat hal yang memalukan. Ini semua adalah takdir.
Kemarahan terus menghantui dada sang raja. Amarah begitu melumuri jiwa raja. Diambilnya seutas cambuk yang besar. Dengan amarah yang meluap dihantamkannya ke punggung Pottrè Konèng . Sekali, duakali, tigakali, berkali-kali, beracapkali. Pottrè Konèng bergeming dalam diam yang pilu. Sakit dalam jiwa yang sedih.
“Ayah, lecutan cambuk ini tidak punya arti apa-apa daripada tuduhan Ayah yang menyebut Ananda sebagai seorang pelacur.” Tersedu Pottrè Konèng mengiba di depan ayah dan ibundanya. Air mata deras mengalir, berderai dalam tangis yang menyayat hati.
Tiba-tiba Pangeran Saccadiningrat tersadar. Apa yang ia lakukan adalah salah. Pottrè Konèng adalah jiwanya, buah hatinya, dan detak jantungnya. Tidak semestinya ia melakukan hal ini kepada darah dagingnya sendiri. Raja Saccadiningrat tersadar, kemudian memeluk erat sang puteri.
“Maafkan Ayah, Puteriku, maafkan.” Terisak Pangeran sambil memeluk Pottrè Konèng . Ia menyesal telah melampaui takdir. Tidak semestinya ia berbuat nekat begitu. Semua telah ditakdirkan. Tidak mungkin anak puterinya, yang ia ketahui dari sejak kecil berbuat yang tidak pantas. Ini semua sudah suratan dari Tuhan.
Pottrè Konèng serasa damai dalam pelukan ayahnya. Ibundanya pun turut larut dalam haru yang berderai. Mereka telah dipertemukan dalam keadaan yang harus mereka terima. Apapun yang terjadi, Pottrè Konèng adalah darah dagingnya.
Akhirnya Pottrè Konèng kembali ke lingkup keraton Sumenep. Ia damai dalam limpahan kasih sayang ayah, ibu, dan dayang-dayangnya. Kehidupan indah yang akan menjadi bias hari-hari berikutnya.
Nun jauh di sana, di tanah Poday (sekarang Sepudi) Pangeran Adipoday telah sepakat untuk melamar Pottrè Konèng . Lengkaplah sudah kisah cinta Pottrè Konèng bersama Pangeran Adipoday. Mereka hidup rukun dalam kerajaan Sumenep. Adipoday menjadi raja Sumenep yang ke-12. Setelah Adipoday mangkat, kemudian digantikan oleh anak pertamanya, Jokotole. Jokotole dinobatkan sebagai Raja Sumenep yang ke-13.