Bagaimana Komunitas Dayak dan Madura Mengelola Relasi Sosial Mereka di Retok
Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, komunitas Dayak dan Madura di Retok telah bersama-sama selama kurang lebih 80 tahun (kedatangan para pemukim awal dari Madura ke Retok terjadi pada tahun 1920-an). Hal yang menarik adalah bahwa sementara kedua komunitas di tempat-tempat lain pada kurun waktu yang sama telah mengalami peristiwa-peristiwa kekerasan komunal beberapa kali, komunitas yang sama di Retok boleh dikatakan tidak pernah terpengaruh untuk melakukan tindak-tindak kekerasan kolektif antar komunitas.
Sub-sub bagian pada bagian ini tidak akan menjelaskan mengapa hal itu terjadi, namun lebih mendeskripsikan bagaimana kedua komunitas tersebut menghingari hal-hal yang dapat mengakibatkan situasi kekerasan yang menghadapkan kedua komunitas tersebut.
- Komunitas Dayak, Madura dan Adat
Seperti pada komunitas Dayak di tempat lain, pada komunitas Dayak di Retok ekonomi (produksi dan distribusi), sosial (bagaimana kehidupan bersama diatur) dan religi (hal-hal yang bersifat filosofis dan spiritual yang mendasari segi kehidupan yang lain) dikelola dalam suatu sistem yang disebut adat. Adat mewujud baik dalam ritual-ritual, dalam pranata sosial (yang sering disebut hukum adat) dan dalam pandangan-pandangan yang mendasar yang diyakini masyarakat yang bersangkutan mengenai mana yang baik dan tidak baik, mana yang benar dan tidak benar (nilai-nilai). Komunitas Dayak di Retok merupakan kelompok linguistik yang biasa disebut “Dayak Ahe” atau “Dayak Kanayatn.” Pada masyarakat Dayak ini sistem religi tercermin dalam tradisi-tradisi lisan yang antara lain mengisahkan bagaimana adat diturunkan dari Ne’ Jubata kepada manusia (talino) di dapuk damparatn melalui Ne’ Ramaga dan Ne’ Dara Irakng. Ia nurunkan ke Ne’ Taguh dan Ne’ Matas yang mengatur adat manusia mengenai yang baik maupun yang buruk.
Ritual adat merupakan salah satu cermin bahwa keyakinan yang terungkap dalam doa-doa ritual maupun nilai-nilai yang tersirat masih dipegang oleh masyarakat yang melaksanakan ritual tersebut. Pada komunitas Dayak di Retok ritual-ritual adat masih secara teratur dilaksanakan. Pada tanggal 7 – 9 Juli 2003, misalnya, komunitas Dayak di Retok mengadakan adat balala nagari. Secara genealogis, adat yang dipakai oleh komunitas Dayak di Retok adalah Adat Talaga. Adat Talaga ini merupakan adat yang dipraktekkan komunitas-komunitas Dayak yang tersebar di Kecamatan Sengah Temila dan Sebangki. Hingga kini komunitas Dayak di Retok masih mempraktekkan ritual-ritual batalah ritual-ritual untuk orang meninggal, babore, tampukng tawar,roah padi, dan ritual-ritual yang dilaksanakan di Kadiaman.
Sistem sosial terangkum dalam apa yang biasa disebut sebagai hukum adat. Inti dari hukum adat ini sebenarnya adalah keseimbangan dalam hubungan antar manusia, keseimbangan antara manusia dengan alam dan keseimbangan antara manusia dengan Sang Pencipta (Jubata). Perilaku manusia yang merusak keseimbangan dipercaya akan mengotori alam semesta (kampung, binua) sehingga harus dibersihkan. Untuk membersihkannya harus dilaksanakan ritual-ritual. Karena keseimbangan adalah hal yang suci, maka untuk menebusnya manusia harus menunjukkan niat untuk berkorban dan menyesal. Niat untuk berkorban dan menyesal untuk membersihkan kembali alam semesta sehingga keseimbangan terjadi lagi harus ditunjukkan oleh k-pihak yang ikut ambil bagian dalam perusakan keseimbangan ini dengan mentaati “sanksi adat”. Hal-hal yang dianggap merusak keseimbangan ini adalah tindak-tindak kejahatan, kelalaian dan semua hal yang menyebabkan keluarnya darah manusia.