Sanksi adat sangat bergantung pada ketentuan-ketentuan adat yang berlaku di wilayah setempat. Di Retok ketentuan-ketentuan tersebut mengacu pada Adat Talaga yang disebutkan di atas. Prosedur pengenaan sanksi adat dilaksanakan oleh pengurus-pengurus adat. Prosedur yang dilakukan di Retok dalam pengenaan sanksi tersebut melweati tahapan-tahapan:
- Mengumpulkan masyarakat setempat dalam suatu tempat/rumah untuk membicarakan permasalahan yang di hadapi
- Masalah-masalah yang di hadapi di diskusikan dalam pertemuan Adat (bahaupm)
- Memberikan kesempatan pada pihak keluarga maupun waris serta masyarakat memberikan ide serta pendapatnya terhadap permasalahan tersebut
- Menyaring ide dan gagasan dari para pihak
- Mengambil kesimpulan akhir
- Melaksanakan hasil keputusan sesuai dengan ketentuan Adat .
Temuan di lapangan menunjukkan bahwa komunitas Madura di Retok mempunyai kecenderungan memahami sistem adat komunitas Dayak. Pemahaman tersebut nampak dalam partisipasi komunitas Madura di Retok dalam penyelesaian berbagai kasus secara adat. Berikut adalah contoh-contoh kasus tersebut.
- Kasus Pak Celeng. Peristiwa ini sebenarnya berawal di Kecamatan Sengah Temila terjadi tahun 1995. Pak Celeng (orang Madura) menyeberang ke sungai Retok untuk melarikan diri ke Desa Kubu padi lewat Kampung Parit Tembawang. Di kampung inilah terjadi kasus perkelahian. Karena kasus ini terjadi di wilayah Retok maka para pihak yang bertikai di tuntut adat untuk membersihkan kampung dari kemungkinan-kemungkinan jahat yang terjadi. Adat yang harus di bayar oleh kelompok yang bertikai ini adat bayar nahar karena mengotori kampung (mengeluarkan darah akibat perkelahian), nyimah tanah membuang segala hal-hal yang jahat. Pihak orang Madura yang terlibat perkelahian ini mengeluarkan peraga adat berupa tempayan bertutup mangkuk bajilah besi di pasang pada lokasi kejadian perkelahian, alat peraga lengkap (babi, ayam, sakapur sirih, sajian). Timanggong Binua mengeluarkan surat pernyataan tertulis pada ke dua pihak yang bertikai untuk tidak membu
- Kasus Aban – Saleh. Peristiwa ini berawal dari kasus saling mencurigai antara Aban (Dayak) dan Saleh (Madura) karena persoalan karet. Mereka telah saling mengintai. Aban dikeroyok oleh Saleh dan teman-temannya di Parit Objek. Ini terjadi pada tahun 1996. Karena peristiwa ini massa dari Kampung Babante dan Kubu Padi ingin menyerang Saleh. Namun hal ini bisa dicegah. Warga melaporkan hal ini ke Danramil dan Kapolsek Sungai Ambawang. Tetua adat juga bergerak. Saleh menghadapi tuntutan dari waris Aban dan harus mengeluarkan adat untuk melaksanakan nyimah tanah adat bayar nahar. Peraga yang di keluarkan : tempayan bertutup mangkuk bajilah besi di pasang pada lokasi kejadian pengeroyokan, alat peraga lengkap (babi, ayam, sakapur sirih, sajian).
- Kasus Ibu Mahmud – Heri. Peristiwa terjadi pada tahun 1996 di Parit Haji Hasan. Ibu Mahmud (Madura) terlibat pertengkaran mulut dengan Heri (Madura). Insiden seperti ini dipercaya mengganggu harmoni. Mereka yang bertengkar dikenai sanksi adat. Peraga adat yang harus dikeluarkan oleh kedua pihakdi keluarkan Satu Siam (capa’ molot) alat peraga lengkap (tujuh piring sebuah mangkuk, babi, ayam, sakapur sirih, sajian).
- Kasus Perampokan. Pada tahun 1997, saat terjadi peristiwa kekerasan antar etnis di Sanggau Ledo, Pak Alin dirampok di Kubu Padi tahun. Pak Aban diserang oleh perampok hingga meninggal. Salah seorang perampok tewas dihajar massa. Binua menjatuhkan sangsi adat di lokasi kejadian. Maksudnya adalah supaya kejadian ini tidak melebar lebih luas lagi. Selanjutnya ritual adat juga dilakukan di panyugu (tempak khusus mengadakan ritual) di Kadiaman. Ritual adat yang dilaksanakan adalah adat ngantor ai’ tanah, selamatan agar pama ai’ tanah melindungi Kampung Retok dari niat jahat yang mengancam. Ritual di panyugu ini di hadiri oleh masyarakat Madura dengan bersama-sama melakukan doa.Artikel bersambung:
- Relasi Suku Dayak Madura di Retok
- Kedatangan Orang Madura di Kebun Karet Orang Dayak.
- Hampir Semua Orang Madura Mengerti Bahasa Dayak