Kepak Sayap Sang Kuda Terbang

kuda-terbang
ilustrasi: Tamar Saraseh

Tidak berselang lama, Jokotole menjadi Raja Sumenep menggantikan kakeknya dengan gelar Pangeran Secadiningrat III. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1415. Tahun bersejarah bagi Jokotole dalam hidupnya.

Jokotole sering berkeliling sampai kepelosok desa di wilayah kekuasaanya.  Ia pernah ke desa Batuputih Laok Kecamatan Batuputih. Masyarakat kesulitan air bersih sehinnga kuda Jokotole mengais-ngaikan kakinya, kemudian muncullah sumber mata air. Masyarakat setempat menamainya dengan Sumber Tombet.

Pada masa Jokotole menjadi raja juga ia terlibat pertempuran besar dengan kedatangan seorang musuh yang terkenal kesaktiannya yakni Dempo Abang yang mempunyai kendaraan kapal laut yang dapat berlayar di atas gunung, terbang di antara pucuk pepohonan dan daratan berbatu. Kesaktian yang luar biasa tetapi kesombongannya telah menguasai hati dan perasaanya.

Di dalam peperangan itu Jokotole mengendarai seekor kuda terbang sesuai petunjuk dari pamannya. Ketika peperangan itu berlangsung Jokotole mendengar suara pamannya yang berkata pokol (pukul), maka Jokotole menahan kekang kudanya dengan keras, kedua kaki kudanya terangkat ke depan, Jokotole kemudian memukulkan cemeti bertuahnya dan mengenai Dempo Awang beserta perahunya. Perahu dan pasukannya hancur lebur ke tanah tepat di atas Bancaran (Bâncarlaan), Bangkalan. Piring Dampo Awang jatuh di Ujung Piring yang sekarang menjadi nama desa di Bangkalan. Jangkar perahunya jatuh di Kecamatan Socah.

Dengan adanya peristiwa peperangan inilah, maka kuda terbang, bersayap putih yang menoleh ke belakang, kedua kaki kudanya terangkat ke depan telah dijadikan lambang bagi Kabupaten Sumenep hingga sekarang, Meskipun sebenarnya, sejak mulai bertugas di Majapahit sudah memperkenalkan lambang kuda terbang tersebut di pintu-pintu gerbang buatannya.

Hasil perkawinan antara Jokotole dan Dewi Ratnadi dikaruniai seorang putera dan puteri yaitu, seorang anak laki-laki pertama bernama Raden Arya Wiragananda, dan anak perempuan yang bernama Raden Bindara Dwiryapadha (Sunan Paddusan).   

Rakyat Sumenep sejahtera, makmur, dan aman dalam kepemimpinan Jokotole. Ia berkuasa sebagai raja Sumenep ke-13 selama 45 tahun (1415-1460).  Kemudian Jokotole menyerahkan kekuasannya pada putera pertamanya, yaitu Arya Wigananda (yang kemudian pusat pemerintahan dipindahkan ke Desa Gapura).

Jokotole menghabiskan masa tuanya dengan tafakkur dan mendekatkan diri pada sang Ilahi, sampai pada akhir hayatnya di rumah pribadinya di Desa Lapa Taman, Dungkek. Hanya ada satu pesan dari Jokotole untuk anaknya, yaitu bila sudah meninggal supaya jasadnya dipikul memakai sebuah pikulan, dan apabila pikulan itu sudah patah, maka di tempat itulah dia harus dimakamkan.

Pesan tersebut dilaksanakan oleh Raden Arya Wiragananda, puteranya. Jokotole  dimakamkan tepat saat pikulan yang menggotongnya telah patah. Tepatnya di Dusun Lanjuk (yang bermakna pikulan). Desa Sa’asa Kecamatan Manding Kabupaten Sumenep.  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.