Siapa itu Kyai dan Apa Peranannya
Dahulu sebutan feodalisme mengacu pada kalangan keluarga raja di Inggris abad keemasan saat negara ini menjadi imperialis dan adi daya dunia. Istilah ini dalam level yang lebih lokal mengarah pada kalangan ningrat atau priyayi di Indonesia; khususnya kalangan suku Jawa. Kalangan ningrat dianggap kalangan kasta atas yang dimiliki raja-raja Jawa jaman dahulu beserta keluarga dan kerabatnya. Madura yang termasuk suku Jawa pun menganut sistim yang tak jauh beda. Hanya saja di Madura high class diposisikan pada para central figure pesantren yakni Kiai. Kiai yang diposisikan sebagai central figure oleh masyarakat madura, yaitu ia yang memiliki ilmu pengetahuan dan ilmu agama yang dalam, dan tindak tanduk serta tutur kata yang lembut dan selalu mengajak pada kebaikan.
Kiai mempunyai beberapa peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat, antara lain yakni sebagai pemuka agama, pelayan sosial dan politik. Sebagai pemuka agama kiai bertindak sebagai pemimpin ibadah (sholat, doa, zakat, puasa), dan pemberi fatwa keagamaan. Sebagai pelayan sosial ia dijadikan sebagai makelar budaya, juga sebagai tempat bertanya pengikutnya untuk meminta nasihat, minta penyembuhan dan sebagai orang yang dituakan. Dalam politik, ia akan memainkan peran yang terkait kepentingan umum ke berbagai saluran politik baik secara langsung maupun tidak langsung.
Figur seorang Kyai diperoleh melalui keturunan (genealogis) yang belum tentu masyarakat madura dapat memperolehnya. Generasi selanjutnya dari sebuah keluarga ulama akan menerima tanggung jawab dan beban tugas untuk melanjutkan peranan dan pekerjaan orang tua. Seperti yang dikatakan Abdurrahman Wahid :
“Tradisi dan sejarah juga memberikan kepada tiap generasi baru seperangkat kebiasaan keluarga yang berlanjut, kebanggaan dan tugas – tugas sebagai seorang terpilih yang mengabdi pada masalah – masalah Islam, …”. (Abdurrahman Wahid 1987: 79)
Kedudukan Kyai bagi masyarakat Madura merupakan sebuah sentral dalam panutan bukan hanya dalam aspek keagamaan, tetapi meliputi berbagai aspek terkait kehidupan sosial lainnya. Menurut Geertz, Kyai berperan sebagai alat penyaring atas arus informasi yang masuk ke lingkungan kaum santri, menularkan apa yang dianggap berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi mereka. Namun peranan penyaring itu akan macet, manakala arus informasi yang masuk begitu deras dan tidak mungkin lagi disaring oleh sang Kyai.
Dalam tatanan pola kehidupan di pondok pesantren Kyai merupakan sosok pemegang kekuasaan tertinggi dalam hal penasehat, pengasuhan dan kepengurusan. Hal tersebut mengimplementasikan pada kehidupan masyarakat di luar ruang lingkup pondok pesantren. Ketika masyarakat madura mengalami situasi – situasi tertentu dalam urusannya diluar aspek keagamaan, maka Kyai ataupun Ghuru menjadi tujuan untuk berkonsultasi dalam menemukan solusi. Tindakan selanjutnya dari seseroang yang berkonsultasi akan mengikuti perkataan yang diucapkan oleh seorang Kyai. Tetapi jikalau sang Kyai mengatakan terserah , maka tindakan selanjutnya akan diserahkan kepada pihak yang berkonsultasi.
Agama dan Politik : Dwi fungsi yang terintegrasi
Dalam masyarakat Madura terdapat kepemimpinan keagamaan yaitu Santri, Haji dan Kyai. Ketiganya mempunyai masing – masing fungsi sendiri. Santri merupakan orang – orang yang sedang belajar mendalami ilmu Islam kepada seorang Ghuru atau Kyai. Sedangkan Haji adalah seseorang yang telah berhasil menunaikan ibadah haji. Namun Kyai menjadi kedudukan tertinggi dalam tatanan masyarakat Madura yang selanjutnya disebut elite desa. Seperti yang tercermin dalam ungkapan orang madura bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato yang bermakna kepatuhan orang madura terhadap orang tua, kyai dan pemerintah (birokrasi). Kepatuhan terhadap orang tua sangat tidak bisa diganggu gugat dan merupakan urusan lahiriah dan batinniah seseorang kepada orang tua.
Yang kedua merupakan urutan kepatuhan setelah orang tua adalah Ghuru (Kyai). Tujuannya untuk berorientasi kepada pencapain urusan moralitas dan ukhrowi (sacred world). Yang terakhir adalah kepatuhan masyarakat madura terhadap pemerintah maupun birokrasi yang hanya bertujuan untuk mencapai urusan – urusan duniawi.