Peranan kiai di Madura sangat penting, dan orientasi masyarakat Madura adalah kiai, tidak pada kepemimpinan birokrasi. Pandangan ini yang kemudian dimaknai “kegagalan” integrasi politik dan ekonomi Madura dalam sistem nasional, sebagaimana ditunjukkan oleh tipisnya pengaruh partai pemerintah dalam beberapa kali Pemilu. Sebagai contoh ketika di Madura dilaksanakan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) yang mempunyai beberapa calon yang tidak berasal dari latar belakang ulama artinya berasal dari kalangan umum maupun dari partai politik maka akan terjadi keapatisan dan sedikitnya partisipasi masyarakat madura dalam Pilkada.
Hal tersebut terjadi karena masyarakat madura menganggap bahwa urusan duniawi yang diatur oleh birokrasi pemerintahan tidak penting dan tidak berimplikasi kepada kehidupan yang akan datang yaitu akhirat. Tetapi ketika figur seorang Kyai menyalonkan diri sebagai kepala birokrasi, nampak jelas sikap loyalitas dari masyarakat madura kepada Kyai. Masyarakat madura akan otomatis langsung memilih calon kepala birokrasi yang berasal dari kalangan ulama maupun kyai walaupun berbeda teritorial.
Dwi fungsi yang terintegrasi antara fungsi figur Kyai yang berintegrasi dengan figur seorang kepala daerah atau birokrasi tentunya akan merubah tatanan sosial yang telah melekat sebelumnya pada seorang Kyai. Jika sebelumnya seorang Kyai mempunyai peran sebagai panutan dalam berperilaku dalam konteks moralitas dan keagamaan, kemudian berintegrasi dalam fungsinya sebagai rato atau kepala daerah yang mengatur aspek – aspek kependudukan yang tentunya juga merepresentasikan urusan duniawi. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan etika sosial budaya oleh masyarakat madura ketika dihadapkan dengan seorang figur rato yang sebelumnya merupakan figur seorang Kyai. Seperti yang dikatakan Latief dalam bukunya :
“Ada kemungkinan dalam situasi seperti itu mereka akan mengalami “kebingungan kultural”. Jika hal ini benar – benar terjadi, maka salah satu dampaknya akan menimbulkan kesulitan tersendiri bagi sang bupati-kiai untuk membangun ketaatan dan patuhan yang benar-benar “utuh dan ikhlas” dari warga masyarakat.” (Latief 2003: 34)
Namun dua peranan yang di emban oleh seorang figur Kyai yang merangkap jadi kepala daerah akan menjadikan tantangan dalam menghadapi situasi – situasi tertentu yang diaplikasikan melalui pendekatan sebagai seorang rato ataupun sebagai seorang Kyai. Sebuah pencapaian visi misi tentunya akan menjadikan roda pemerintahan daerah berjalan dengan baik melalui masing – masing prinsip.
Prinsip kepemimpinan seorang Kyai dalam menjalankan pemerintahan daerah pasca orde baru sudah mulai bergerser dari fungsi – fungsi sebelumnya. Politik yang dikatakan sebagai kekuasaan mempengaruhi keteguhan prinsip dari seorang Kyai. Iming – iming jabatan, kekuasaan, pundi – pundi uang, dan kehidupan yang mewah tidak sedikit membuat kepala daerah yang dulunya Kyai menjadi figur yang serakah akan kekuasaan. Dalam konteks ini figur seorang pemimpin (leadership) yang wibawa dan bijaksana tidak terlihat lagi pada seorang tokoh Kyai. Kasus tersebut semakin banyak terjadi pada kepemimpinan seorang Kyai pada daerah – daerah di Madura, sehingga pandangan masyarakat terhadap figur seorang Kyai berubah dan tingkat kepatuhan yang mulai menurun.
Kondisi-kondisi demikian, kemudian melahirkan organisasi sosial yang bertumpu pada agama dan otoritas kyai. Kyai merupakan perekat solidaritas dan kegiatan ritual keagamaan, pembangun sentimen kolektif keagamaan, dan penyatu elemenelemen sosial atau kelompok kekerabatan yang tersebar karena faktor-faktor ekologis dan pola pemukiman tersebut.
Fenomena Carok
Orang Madura diakui memiliki perangai, sikap dan prilaku yang sangat tegas kemudian terimplementasikan dalam perangai, sikap, prilaku spontan dan ekspresif kadangkala muncul dalam takaran yang agak berlebihan sehingga makna ketegasan yang terkandung di dalamnya kemudian bergeser menjadi “kekerasan”. Namun, pergeseran ini tidak mungkin terjadi tanpa ada kondisi-kondisi yang membentuknya. Kondisi sosial-budaya yang paling kuat adalah ketika orang Madura merasa dilecehkan harga dirinya sehingga membuatnya tada’ajinah (pengingkaran terhadap eksistensi diri sehingga tidak berguna dan bermanfaat baik secara sosial maupun budaya). Misalnya, kasus-kasus carok yang terjadi akibat pelecehan harga diri tidak dapat dilepaskan dengan kondisi seperti ini.