Kiai Zainal Arifin, Ulama Kharismatik dan Disegani  

Cukup beralasan bila kemudian Kiai Zainal dalam salah satu kesempatan mengatakan sebagai berikut:

إن من لم يزرع المشاهدة فى العبادة لم يحصد المشاهدة وكذلك المعرفة

Sesungguhnya orang yang tidak menanam –proses menuju—musyahadah dalam ibadah, maka dipastikan ia tidak memanen musyadah. Begitu juga tidak sampai makrifat (Allah).

Ungkapan Kiai Zainal adalah penegasan bahwa capaian perasaan menyaksikan kehadiran Allah dalam batin pelaku tarekat atau tasawuf (musyahadah) atau mencapai derajat ma’rifatullah mustahil bagi mereka yang sengaja meninggalkan syari’atnya.

Di samping aktivitas dakwah, Kiai Zainal dikenal sebagai pelaku bisnis, bahkan mendukung setiap kegiatan bisnis yang dilakukan istrinya bersama para santri dalam mengelola indutri lokal, misalnya pembuatan bedak putih, bedak lulur, dupa, termasuk jamu wanita dan pria hingga terkenal ke luar Sumenep. Produksi awal pesantren ini kelak dalam perkembangannya sampai sekarang cukup dikenal di masyarakat dengan sebutan bedak Tarate, dupa Tarate dan jamu Tarate.

Sementara itu, dalam konteks kebangsaan. Kiai Zainal memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap kondisi bangsa. Baginya, keterpanggilan ikut melepaskan bencana yang dialami bangsa sejatinya ikut membantu masyarakat lepas dari kemiskinan dan ketidak berdayaan akibat tekanan penjajah.  Karenanya, beliau aktif dalam organisasi sosial dan politik di era penjajahan Belanda dan Jepang agar kontribusi yang dilakukan lebih besar, disamping melakukan proses mengajar kitab kuning kepada santri di pesantren yang diasuhnya.

Tahun 1917 hingga 1928, Kiai Zainal tercatat sebagai aktivis, bahkan pernah menjabat pimpinan  Serikat Dagang Islam (SDI) cabang Sumenep. Perlu diketahui SDI -dalam perkembangannya berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI)–  adalah merupakan organisasi perkumpulan para pedagang Islam yang pertama kali lahir di Indonesia atas inisiasi Haji Samanhudi dan dilanjutkan oleh HOS. Tjokroaminoto untuk merespon kebijakan politik Belanda yang memberikan kemudahan bagi asing untuk masuk ke Nusantara, yang dianggap mengancam sintem perekonomian lokal.

Untuk itu keterlibatan Kiai Zainal di SI adalah bentuk kesadaran beliau terhadap ancaman ekonomi umat, bila kebijakan politik ekonomi Belanda dibiarkan. Semangat nasionalisme Kiai Zainal muncul karena beliau melihat sendiri bahwa ekonomi umat perlu dikembangkan secara mandiri. Hadirnya kelas kapitalis global dalam kancah pasar lokal, melalui kebijakan Belanda, akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Bahkan bisa dipastikan pemain lokal –yang mayoritas Muslim– akan tergerus dan rakyat akan menjadi konsumen, sementara pasar dikuasai oleh asing. Maka melalui SI, Kiai Zainal melawan Belanda sebagai penjajah, sekaligus simbol pendukung kapitalis asing.

Bukan hanya itu, era perang revolusi 1945 yang melibatkan peran Santri di berbagai daerah memantik Kiai Zainal terlibat aktif sebagai pimpinan pasukan Sabilillah bersama Kiai Abi Suja’, yang masih keponakannya. Berbagai upaya dilakukan, termasuk di antaranya menjadi pelatih kanuragan bagi para anggota Sabilillah untuk menguatkan daya juang merebut kemerdekaan. Karenanya, kontribusi Kiai Zainal sebagai pejuang diabadikan namanya agar dikenal –sekaligus diteladani perannya– oleh generasi terkini sebagai nama jalan. Nama Jalan ini ditetapkan oleh Pemda Tingkat II Sumenep dengan sebutan “jalan KH. Zainal Arifin”, berada di persimpangan jalan tengku umar dan jalan Diponegoro ke arah selatan kota Sumenep.

Perlu diketahui,  Kiai Zainal keluar dari keanggotaannya di Sarekat Islam (SI) setelah NU berdiri pada tahun 1930 Masehi di Sumenep. Alasannya cukup rasional, yang disampaikan oleh Kiai Zainal kepada salah satu muassis NU Sumenep Kiai Abi Suja’ ketika meminta restu proses pendirian NU di Sumenep setelah kedatangan Kiai Munif sebagai konsulat NU Jawa Timur. Kiai Zainal mengatakan kepada Kiai Abi Suja’ sebagai berikut:

“Kalau sekarang Nahdatul ulama berdiri, maka SI sudah tidak diperlukan lagi sebab SI perjuangannya hanyalah mas’alah ekonomi islami. Jadi dengan adanya Nahdlatul Ulama kini sudah waktunya Ulama tampil ke depan. Dari itu, kamu saja yang menjadi pelopornya sebab saya sudah tua.

*****

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.