Menikmati karya-karyanya, kita bisa merasakan nilai-nilai (nuansa) segala sesuatunya yang berhubungan dengan pulau garam; budaya, sosial, politik, ekonomi, tradisi, kekerasan, religuitas, kemarau, maut, laut, aduan sapi, carok, kesombongan, tanah gersang, kesederhanaan, pohon siwalan, adat istiadat dan lain sebagainya yang disampaikan dengan etik dan estetis oleh D. Zawawi Imron hingga menyalakan inspirasi bagi siapa saja yang merapalnya.
Begitupun sederet penyair muda Madura di atas juga banyak memberi kontribusi (refleksi-refleksi) terhadap Madura lewat proses kepenyairannya. Mereka juga mengikuti jejak D. Zawawi Imron dalam menciptakan sajak dengan idiom-idiom Madura yang relatif kental, kontroversial, dengan rekonstruksi metafor alam (Madura) yang eksotis. Namun tetap pada konsep ruang beda, serta gerak pandang yang tak sama pula dalam tulisan-tulisannya.
Akhir kata, sebaiknya kita tunggu saja gebrakan apa yang akan diperbuat mereka (penyair muda Madura) untuk melahirkan karya-karya selanjutanya.(*)
Homaedi, lahir di Beluk Raja-Ambunten-Sumenep 1991. Penikmat musik tradisional Madura. Aktif mendalami kajian kepenulisan “Rumah Tulis” Sumenep. Puisi, cerpen dan esainya dimuat di media massa. Juga terkumpul dalam antologi bersama: Temu Komunitas Sastra 2 Kota/Lentera Sastra Jawa Timur (2011). Kidung Sunyi (2012). Anting Bulan Merah (2012). (http://radarseni.com/2013/05/11/madura-di-mata-penyair/)