Mohammad Suud
Madura dikenal memiliki banyak hal. Madura tidak hanya kaya dengan budaya lokal, tetapi Madura di sisi lain adalah pulau yang banyak memberikan sumbangsih nilai-nilai pendidikan, terutama kontribusi pesantren yang menjadi corong dinamika intelektualitas keislaman. Madura juga kaya dengan tradisi-tradisi yang menjunjung nilai-nilai persaudaraan antar sesama. Banyak persoalan sosial yang rela dikerjakan bersama. Rasa simpati dan empati kepada sesama sangat kental dalam kejiwaan masyarakat Madura.
Masyarakat Madura siap diminta sumbangsih pertolongan kapanpun dibutuhkan. Menghormati yang tua dan menyayangi yang muda adalah pola hidup yang selalu dilestarikan. Kita akan kenal bahwa bahasa Madura mempunyai tingkatan-tingkatan yang mempunyai cita rasa etika yang berbeda. Enje’-iye misalnya, dipakai dalam percakapan kalangan yang starata sosialnya sama dan satu dengan lainnya sangat akrab, roco istilahnya. Enggi-enten dipakai dalam percakapan dengan posisi yang sama, namun tidak sampai pada batas roco tadi. Enggi-bunten dipakai ketika berbicara dengan mereka yang dihormati dan disegani.
Kekayaan nilai-nilai tradisi, pola keberagamaan yang kental, loyalitas dan solidaritas antara sesama, menjadi kunci kokohnya pertahanan Madura dalam menjaga identitasnya dari rongrongan luar selama ini. Namun bagaimana pun, ketika kekayaan tersebut tidak disikapi dengan wawasan yang luas dan pola pandang yang bijak, maka semuanya itu akan hanya jadi ’bumerang’ terpuruknya Madura pada suatu saat nanti.
Terlepas dari keutamaan Madura di atas, ada beberapa hal berdampak negatif yang perlu disadari oleh masyarakat Madura, jika berharap Madura ke depan mampu membentengi eksistensi identitasnya berikut mampu berdialektika dan bersaing dengan dunia di luarnya. Rasa memiliki banyak hal telah membuat Madura ’asyik’, ’ektase’, dan ’mabuk’ dengan romantisme dan imaji-imaji kemaduraannya. Akhirnya fanatisme, eklusivisme, dan konservatifisme — disadari atau tidak –menjadi ’ideologi’ pola sosial dan keberagamaan Madura.