Slogan ”al-muhafadzah ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah’ hanya menjadi ucapan-ucapan basah di lidah, tapi kering di realitas. Upaya mempertahankan tradisi lama lebih mendominasi dari rasa ingin melakukan pembaharuan-pembaharuan. Maka tidak salah jika Madura menjadi tertinggal—meskipun tidak harus divonis katrok. Kenapa hal ini bisa terjadi? Dalam teori ilmu sosial dikatakan bahwa sebuah norma atau tradisi ketika dipahat dan dijadikan ’standarisasi’ pada suatu masa, kemudian diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi tanpa ada kritik dan pembaharuan, maka akan dianggap sebagai sebuah kebenaran yang tidak bisa diotak-atik.
Maka apa yang perlu dilakukan Madura dengan krisis semacam ini? Muhammad Abid al-Jabiri, seorang intelektual asal Maroko, di saat mengkaji nalar akal Arab, berkesimpulan bahwa penyebab terpuruknya dunia Arab-Islam dihadapan peradaban lainnya adalah karena kecenderungan mengulang-ngulang tradisi lampau tanpa melakukan kritik dan pembaharuan di masa-masa setelahnya. Dalam istilah beliau, dunia Arab-Islam dijangkiti penyakit ’al-fahmu al-turatsi li al-turats’, membaca tradisi lampau dengan pembacaan lampau. Kondisi keterpurukan seperti ini sebenarnya ada kemiripan dengan apa yang dialami Madura dewasa ini.
Modernisasi (al-tahdits), membaca tradisi dengan kaca mata dan tuntutan kekinian, al-fahmu al-hadatsi li al-turats, meminjam solusi yang ditawarkan Jabiri, dan rasionalisasi (aqlanah) adalah mega proyek yang perlu dilakukan oleh Madura. Dengan modernisasi, Madura perlu melakukan rekontruksi tradisi dari dalam tradisinya. Modenisasi bukan berarti mengganti secara totalitas tradisi lokal, kemudian menggantinya dengan di luarnya. Hal itu tidaklah mungkin, karena hanya akan menghilangkan identitas kemaduran itu sendiri.
Jika diposisikan Madura sekarang adalah ego (al-ana), dan tradisi masa lalu dan tradisi di luarnya adalah the others (al-akhar), meminjam istilah Hassan Hanafi, maka Madura perlu mampu berdialektika dengan the others tersebut secara proporsional. Maka jargon ”al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah’ bisa dijewantahkan secara imbang. Madura perlu membaca ulang tradisinya, dan memilah-milih yang masih layak ditradisikan; mempertahankam tradisi yang selaras dengan nilai ajaran agama, etika, rasionalitas, dan modernitas, dan meninggalkan tradisi yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
Kairo, 7 Desember, 2009
sumber: facebook.com/