Pada jaman kerajaan ini petani diwajibkan untuk membayar 1/3 atau 1/2 dari penghasilannya. Pembayaran pajak ini tidak saja dibayar dengan hasil pertanian akan tetapi juga dibayar dengan mata uang (currencies).
Dalam penelitiannya De Jonge (1990) mencatat dimana terjadi penduduk tidak mau merubah tegalan menjadi sawah karena tegalan bila sudah diairi akan disita oleh raja. Pajak atas tanah sudah sejak era kerajaan ditarik demikian pula dengan pajak rumah tangga. Selain membayar pajak penduduk juga diharuskan melakukan kerja paksa.
Pada era kerajaan ini ekonomi Madura dilambangkan sebagai ekonomi model upeti dalam mana subsisten dan pengiriman barang dan jasa pada stratum atas dari masyarakat diutamakan. Ekonomi pada massa tersebut tidak saja berorientasi terhadap agraris akan tetapi perdagangan penting sekali, menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh De Jonge pada saat itu banyak pedagang bermukim di kota-kota dan sepanjang pantai.
Ekonomi Pada Masa Pemerintahan Kolonial
Pada pertengahan abad ke 19 Madura mempunyai status yang sama dengan jawa, yaitu dikuasai secara langsung oleh pejabat kolonial. Raja dijadikan petugas-petugas pribumi dan digaji seperti rekan-rekannya di Jawa.
Sejak itu pajak atas tanah dan pajak rumah tangga dihapuskan menurut De Jonge (1990) pajak ini diganti dengan iuran yang relatif rendah. Sistem kerja paksa dikurangi. Pada abad ke 20 malahan kerja paksa dihapuskan. Fasilitas untuk rakyat diteruskan berupa pemeliharaan jalan raya dan pembuatan serta pemeliharaan kanal-kanal irigasi.
Petani menerima hak milik atas tanah menurut hukum barat, oleh karenanya pada masa itu seluruh pulau Madura di survei dan di petakan. Petani berhak atas segala hasil tanah mereka.