[junkie-alert style=”green”]Pembicaraan tentang Madura itu terasa semakin sulit. karena arsip-arsip tentang Madura banyak tersimpan di Leiden. Desertasi Doktor Masiubu “Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren”, penerbit IMS. Jakarta 1994. menyebutkan hahvva pesantren yang Pertama kali didirikan di Madura adalah Pesantren “Jan Tampes II” di Pamekasan, yang didirikan 1062, sekitar 5 abad sebelum berdirinya keiajaan Islam Demak yang didirikan oleh Wali Songo. Kita sekarang bertanya. Pesantren Jan Tampes II itu di mana? Kalau ada Pesantren Jan Tampes II tentu ada Jan Tampes 1. Kapan berdirinya ? Alangkah gelap mata saya memandang sejarah jauh kebeiakang.[/junkie-alert]
Di samping itu betapa sulitnya Bapak Prof. Dr. Aminuddin Kasdi dan kawan- kawan yang telah berusaha optimal agar pejuang Madura melawan penjajah Belanda, Raden Trunajaya diakui dan dikukuhkan oleh Pemerintah pusat sebagai pahlawan nasional yang sampai saat ini belum berhasil. Belum kesulitan bahasa dari orang Madura, yang kalau pergi ke Surabaya atau Jawa harus menggunakan istilah ongga (naik), sedangkan kalau datang (pulang) menggunakan istilah toron (turun). Dari paparan di atas, betapa banyaknya masalah kebuday aan Madura yang belum diteliti dan didokumentasi Belum sastra lisan Madura yang sebagian besar sudah dilupakan karena tidak tertulis. Penelitian- penelitian memang harus dilakukan, tapi bagaimana merekam jejak di atas pasir yang sudah lenyap dihapus zaman dan angin ?
Penelitian yang dilakukan orang-orang kreatif bukan untuk memuja masa lalu, sementara kita sadar bahwa kita sedang beranjak menuju hari esok. Secara filosofis, apa yang saya sebut sebagai sekarang, sudah pergi menjadi tadi, dan apa yang tadi saya sebut sebagai nanti sudah menjadi sekarang. Begitulah waktu beijalan dan mengalir menantang kehidupan manusia. Maka, jika manusia itu tidak mampu memaknai hidupnya, maka umur yang sia-sia akan dilangkahi oleh waktu. Umur yang bernas yang diisi kucuran keringat akan dapat mendayung mengarungi samudera waktu, alako berra ’ apello koneng, ahantal omba ’ asapo’ angen.
Vilalitas yang tersurat dan tersirat pada kearifan di atas, menuntut orang Madura mampu menyumbangkan kebaikan bagi Indonesia dalam segala bidang. Madura memang bagian dan Indonesia, tapi tanpa Madura tidaklah lengkap Indonesia. Sejarah telah bicara, Halim Perdanakusuina telah merelakan jasadnya hancur sebagai bunga semerbak untuk kemerdekaan dan kejayaan Indonesia. Darahnya yang merah dan hatinya yang putih, selalu abadi pada warna bendera sang saka
Itulah pengorbanan nimik bangsa dan ranah air yang berasal dari adagium ahiikn nagara. Spirit hidup menghormati kehidupan orang lain, bila cempa /palotan, bila kanca taretan, yang direvitalisasi dan direinterpretasi secara kreatif akan menjadi kelanjutan dan kelangsungan hidupnya “Sukma Madura’ (Madura soul). Tanpa bersikap kreatif terhadap tradisi, kita bisa mungkin tetjebak pada pemujaan kepada masa lalu dan tradisi yang lapuk dan tidak punya visi ke depan.