Jembatan Suramadu sudah terealisasi sehingga alangkah bijaknya jika kita semua, Ulama, pemerintah, pengelola, akademisi, dan masyarakat bersama-sama melakukan evaluasi dini dampak-dampak negative dari Suramadu. Sehingga segala persiapan bagi dampak-dampak negative tersebut bisa segera terselesaikan bukannya malah didiamkan yang pada akhirnya akan menjadi bom waktu akan terjadinya revolusi penentangan masyarakat terhadap industrialisasi.
Pemberdayaan masyarakat melalui keterampilan merupakan salah satu upaya yang sangat signifikan ketika lahan pekerjaan mereka, yakni nelayan dan pertanian, pada akhirnya akan semakin mengecil, seiring banyaknya lahan-lahan baru yang dibutuhkan untuk industrialisasi. Keterampilan dengan mengedepankan potensi daerahnya merupakan upaya yang harus segera dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat Madura untuk menyejahterakan masyarakat Madura dengan adanya industrialisasi, bukannya malah menjadi penonton bagi penikmat Suramadu yang berasal dari luar Madura. Inilah potret kecil dari terserabutnya nilai-nilai kearifan peradaban Madura yang salah satunya disebabkan oleh dampak industrialisasi, yang pada akhirnya akan melahirkan individualistic, materialistic, semangat kapitalisme yang semakin merajalela yang pada akhirnya akan menyebabkan masyarakat Madura sebagai orang yang mengalami „pemiskinan psikologis dan kefakiran sistemik‟ sebagaimana yang diungkapkan oleh “Jean Baudrillard”, dengan berpola masyarakat konsumerisme hasil produk industry. Sesuatu yang belum dipikirkan secara jernih oleh kita bersama, karena masyarakat kita bukanlah produses industry.
baca juga: Kearifan Lokal Masyarakat Madura Dalam Mengkonservasi Tumbuhan Obat
Lebih lanjut, dari sisi yang lain jembatan Suramadu seringkali dianggap kesuksesan yang tanpa makna, dalam artian biaya mahal yang telah dihabiskan hanya menjadi sebuah kebanggaan simbolik sebagai jembatan terpanjang, baik di Indonesia, Asia Tenggara, dll. Padahal harusnya kita tidak hanya terpaku terhadap sisi simboliknya namun sisi kesuksesan secara ekonomi, sosial, budaya, agama, politik, dll.
BPWS (diskusi terbatas di Kompas jawa Timur) pernah mengungkapkan bahwa hal nyata dari kesuksesan Jembatan Suramadu adalah kuantitas kendaraan yang hilir mudik dari Surabaya ke Madura, kemudian jumlah rumah makan, hotel, dan berbagai rencana bangunan yang sedang digarap. Secara ekonomi mungkin ada dampak, tapi yang menjadi pertanyaan adalah bagi siapa? Masyarakat Madura mayoritas adalah petani dan nelayan, yang tidak akan mampu untuk membangun itu semua dan tidak akan bisa untuk menjadi bagian dari industrialisasi ketika belum ada pelatihan bagi mereka.
Hal lain, adalah identitas ke-Madura-an yang hilang di Jembatan Suramadu. Sebuah simbol yang seharusnya dipikirkan sejak awal bahwa ketika orang luar sudah masuk ke wilayah Madura, mereka sudah tersadarkan bahwa mereka sudah ada di wilayah Madura, bukannya hanya foto-foto pemimpin kita (bupati) dari empat kabupaten. Kesan budaya, etos kerja, agama, dan lain-lainnya yang seharusnya dijadikan simbol utama masuknya orang luar ke Madura, sehingga masyarakat paham bahwa mereka sudah ada di Madura dan semakin tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang Madura. Seperti ketika kita ke Bali, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan lainnya.
Lebih lanjut, wilayah-wilayah wisata yang belum tergarap, menjadi bukti utama bahwa Suramadu telah menjadi ajang perebutan kekuatan ekonomi, sosial, budaya, agama, dll, di setiap unsur kepentingan di setiap kabupaten, tanpa memikirkan kemajuan Madura secara sinergis antarkabupaten. Hal inilah yang menjadi titik kelemahan utama dari kita. Karena bagaimanapun ketika kita masih bisa menjaga nilai-nilai kearifan lokal peradaban Madura, maka secara umum tidak akan mengakibatkan lunturnya nilai-nilai tersebut. Industrialisasi dan wisata, yang bagi sebagian orang dianggap sebagai titik pelemah bergesernya nilai-nilai peradaban, secara sosiologis merupakan sesuatu yang tidak terbantahkan. Namun, ada prosesi yang kita lalui supaya esensi nilai-nilai kearifan itu tetap terjaga meskipun mengalami berbagai bentuk pergeseran, yakni sosialiasi, akulturasi, dan asimilasi kebudayaan.
Belum adanya buku panduan yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten di Madura (lebih baik kalau jadi satu seluruh kabupaten di Madura) untuk orang luar yang belum punya pemandu atau kenalan maupun kerabat orang Madura. Seperti, kuliner, batik, wisata pantai, wisata religi, wisata budaya, kerapan sapi, dll. Sehingga ketika orang luar ke Madura sudah memiliki jadwal, dan peta yang jelas mahu ke mana dan apa yang mereka ingin lihat. Contoh yang paling sederhana, kalau saya mahu nonton kerapan sapi di Madura kapan ya? Ciri khas rumah Madura seperti apa ya?, kalau mahu nonton tarian-tarian Madura di mana ya? dll.