Ini yang seharusnya dijadikan PR bagi kita semua orang Madura untuk memikirkan kemajuan Madura secara kualitas bukan hanya secara kuantitas. Karena bagaimanapun ketika kita berembuk dan berfikir bersama pasti kemajuan itu hanya akan menunggu waktu. Sekarang tugas kita semua unsur berkumpul, petani, nelayan, birokrat, akademisi, BPWS, LSM, wartawan, agamawan, politisi, budayawan, pemuda, dan semua unsur untuk berbagi ide kemajuan Madura sesudah dua tahun adanya Jembatan Suramadu, yang kemudian melahirkan konsep nyata dengan penanggung jawabnya, entah siapa yang harus memulainya, bupati mana, kampus mana, atau media mana, atau individu siapa, kita berdo‟a aja semoga ada yang memulainya. Dengan atau tanpa memikirkan kemajuan individu (pengkayaan diri) semua untuk masyarakat Madura, kemajuan di segala bidang.
Selain itu, kurang sadarnya orang untuk mengabadikan nilai-nilai kearifan lokal budaya Madura bagi para ilmuwan kita dengan melakukan penelitian, penulisan buku, dan pembentukan lembaga, pada akhirnya akan menciptakan pemahaman ke-Madura-an yang berorientasi kepada buku-buku lampau yang dtulis oleh para ilmuwan Belanda, Perancis, dll. Kemudian pergeseran ini memunculkan ilmuwan-ilmuwan Madura yang ada di luar Madura untuk melakukannya, yang menjadi pertanyaan bagaimana ilmuwan-ilmuwan Madura (kita) yang ada di Madura kenapa sangat sedikit yang melakukannya, terutama akdemisi-akademisi?.
Lebih lanjut, berbagai Keberlangsungan keunikan nilai-nilai kearifan budaya Madura tampak tidak sejalan dengan kuatitas komunalnya yang menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, yakni 9,7 Juta Jiwa (7,5%), menempati peringkat kuantitas etnik terbesar setelah Jawa (45%) dan Sunda (14%) (Kompas, 24 Sept. 2005). Walaupun kedua konsepsi itu tampak tidak sejalan tetapi realitasnya mencerminkan kondisi tersebut.
Hingga saat ini komunalitas etnik Madura di berbagai daerah, baik di Madura maupun di daerah perantauan (migran) masih tetap harus “berjuang” untuk mempertahankan survivalitasnya dalam menghadapi arus industrialisasi dan modernisasi yang semakin cepat. Keberadaan mereka seolah-olah kian menyusut karena mereka ternyata mulai enggan atau malu mengakui komunitas asalnya saat status sosial ekonominya meningkat, maupun ketika intelektualitasnya semakin berkembang (mahasiswa). Keengganan untuk mengakui identitas asal mereka dapat dimengerti karena selama ini citra tentang orang Madura selalu jelek (stereotipenya) sedangkan komunitasnya cenderung termarginalkan sehingga menimbulkan “image trauma atau enggan mengakui identitas Maduranya.”
Identitas diri mereka makin tidak dapat dikenali karena adanya kecenderungan escapistic dalam berinteraksi sosial di berbagai daerah. Dalam artian, mereka “mengebiri identitasnya” yang merupakan ciri khas, keunikan, dan karakteristik etnisitas sesungguhnya yang justru masih melekat erat pada dirinya. Termasuk di dalamnya juga menyembunyikan penggunaan berbahasa Madura antarsesama etnik maupun antarsesama masyarakat Madura. Padahal di dalam ketatabahasaan Madura terdapat strata kebahasaan. Sehingga ketika menggunakan bahasa Madura secara otomatis etika interaksi sosialnya akan terbentuk. Kondisi sosiologis seperti inilah yang sangat jarang ditemui pada komunitas etnisitas lain, karena penggunaan bahasa lokal etniknya justru memunculkan kebanggaan tersendiri bagi dirinya, seperti Jawa maupun Sunda.
Ungkapan etnografi, misalnya taretan dhibi‟ (saudara sendiri) dalam ketata-bahasaan Madura saat berkomunikasi dengan sesama etnik kadang cenderung mempererat persaudaraan. Penggunaan konsep budaya taretan dhibi‟ justru sering ditirukan oleh individu etnik lainnya sebagai bentuk ungkapan tentang bertemunya dua orang Madura atau lebih dalam satu lokasi.
baca juga: Yang Tersembunyi Dibalik Budaya Madura
Keunikan budaya Madura pada dasarnya banyak dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi geografis dan topografi hidraulis serta lahan pertanian tadah hujan yang cenderung tandus dan berpola tegalan, sehingga survivalitas kehidupan mereka lebih banyak melaut dan bertani sebagai mata perncarian utamanya. Mereka pun dibentuk oleh kehidupan bahari dan pertanian tradisional (atau tidak disebut sangat kurang mencukupi perekonomian keluarganya) yang penuh tantangan dan resiko sehingga memunculkan keberanian jiwa dan fisik yang tinggi, berjiwa keras dan ulet, penuh percaya diri, defensif dalam berbagai situasi bahaya dan genting, bersikap terbuka, lugas dalam bertutur, serta menjunjung martabat dan harga diri. Watak dasar bentukan iklim bahari dan pertanian tegalan itulah yang kadang kala diekspresikan secara berlebihan sehingga memunculkan konflik dan tindak kekerasan fisik (carok). Oleh karena itu, stereotype perilaku kekerasan “dikukuhkan dan dilekatkan” sebagai keunikan budaya pada tiap individu kelompok atau komunitas etnik Madura.
Kearifan budaya Madura yang juga menjadi keunikan etnografisnya tampak pada perilaku dalam memelihara jalinan persaudaraan sejati (taretan dhibi‟). Hal itu tergambar dari ungkapan budaya oreng dhaddhi taretan, taretan dhaddhi oreng, (orang lain bisa menjadi saudara, sedangkan saudara sendiri bisa menjadi orang lain). Keunikan yang muncul dari ungkapan kultural (pseudo-kinship) itu diwujudkan dalam bentuk perilaku aktual. (Wiyata, 2005: 4; Astro, 2006: 2).
Berbagai bentuk streotipe yang diidentikkan ke dalam masyarakat Madura itulah sebagai salah factor penyebab keengganan masyarakat mengidentifikasi dirinya sebagai komunal Madura. Kurang adanya pembiasaan atau kebanggaan diri dalam berinteraksi menggunakan bahasa Madura juga factor penentu akan mahalnya identitas Madura. Mereka (orang tua) lebih bangga ketika anak-anaknya mampu menggunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi social. Factor dominant lainnya adalah kurang sadarnya para pengambil kebijakan (Diknas, dan lembaga lainnya) untuk menjadikan mata pelajaran bahasa Madura sebagai sebuah identitas kebanggaan bagi setiap sekolah. Dalam artian bahwa bahasa Madura tidak lagi dianggap sebagai pelengkap kurikulum namun sebagai mata pelajaran pokok (sebagaimana bahasa Indonesia dan bahasa Inggris) bagi sekolah-sekolah di Madura untuk tingkat dasar sampai tingkas atas, atau bahkan perlunya dibuka sastra Madura di perguruan tinggi sebagai bentuk upaya survivalitas identitas Madura. (akhir)
*****
- Tulisan ini merupakan makalah disampaikan pada seminar Pra Kongres Budaya Madura yang diadakan oleh Said Abdullah Institute (SAI), di Gedung Rato Ebu Bangkalan tanggal 25 Juni 2011
- Penulis adalah Dosen Sosiologi Universitas Trunojoyo Madura (UTM)
- Sumber: Kariman, Volume 01, No. 01, Tahun 2013 (pdf) dengan judul asli: Mahalnya Sebuah Identitas Peradaban Madura: Cinta Semu Kebudayaan Madura
*****
Tulisan bersambung:
- Melacak Identitas Peradaban Madura
- Historisasi Peradaban Madura dalam Berbagai Bentuk
- Mahalnya Sebuah Identitas Kecintaan Madura