Makna Tanah, Makam dan Manusia Madura

Makna Tanah dan Makam

Bagi manusia Madura tanah adalah kekayaan yang sebenarnya karena dengan tanahlah mereka bisa bertahan dan mengembangkan kualitas hidupnya. Ini bukanlah sekadar peristiwa ekonomi, namun juga meliputi sosial religius. Tanah tidak hanya membuat seseorang bertahan hidup secara fisik, namun juga spiritual (Bambang, 2003; Wiyata, 2013).

Sebagai sebuah kekayaan, tanah tidak sekadar benda mati yang diolah. Tanah adalah sebuah peristiwa yang menyambungkan manusia Madura dengan asalnya. Merawat tanah tidak hanya bermakna ekologis, namun merupakan pengakuan bahwa manusia Madura mempunyai nenek moyang yang sampai saat kapan pun akan tetap ada bersama mereka meski di alam berbeda.

Sebagai penganut agama Islam yang taat (Rifaie, 2007; Syamsul Ma’arif, 2015) dan mayoritas NU, manusia Madura meyakini bahwa nenek moyang yang sudah meninggal dunia tidak serta-merta menghilang begitu saja. Mereka masih ada namun di alam yang berbeda. Bagi mereka seorang yang meninggal hanyalah pindah tempat dari dunia fisik ke ruh. Meski tidak bisa leluasa berbuat seperti saat masih berada di dunia, mereka diyakini berada begitu dekat dengan Tuhan. Jadi, satu-satunya kekuatan ruh nenek moyang adalah doa yang sangat mustajab. Untuk mendapatkan restu dan doa baiknya, manusia Madura harus tetap menampakkan pengabdian pada leluhurnya dengan menjalankan wasiat dan merawat tanah peninggalannya. Bagi yang tidak mengindahkan hal tersebut mereka akan ecapo’ tola (kualat).

Untuk tetap menjaga keyakinannya dan menambah nilai sakralitas tanah sangkol (warisan), biasanya mereka mengubur jenazah nenek moyangnya di tanahnya sendiri sehingga akan merasa semakin dekat dengan ruh leluhur. Pada akhirnya, tanah yang mereka miliki diyakini sebagai jiwa leluhur yang masih hidup dan selalu mengawasinya. Tidak ada alasan untuk menjual tanah pada orang luar, karena hal itu adalah aib. Menjual tana sangkol sama dengan menjual rumah (Bambang, 2003). Jika seseorang tidak mempunyai rumah sebagai tempat berlindung dia akan menjadi gelandangan. Tidak ada kebebasan yang dimiliki. Hanya seonggok daging hidup yang terus berpindah dari tempat satu ke tempat lain. Sudah bisa dipastikan tidak ada peradaban yang akan ditinggalkan untuk anak cucunya. Bahkan, kehadirannya tidak akan pernah diperhitungkan oleh siapa pun. Kalau terpaksa, maka tanah yang dimiliki harus dijual pada saudara sendiri.

Seorang yang menjual tanahnya pada orang luar juga diyakini tidak akan hidup dengan tenang. Selain dianggap menjual rumah, menjual tanah juga akan dinggap mengabaikan nenek moyang. Dalam tatakrama masyarakat Madura, pengabaian terhadap leluhur disebut cangkolang. Perbuatan ini dianggap tabu karena bisa merusak struktur tatanan yang sudah terbentuk begitu lama dan rapi.

Penjualan tanah besar-besaran yang terjadi di Madura saat ini merupakan suatu peristiwa besar perombakan tatanan kebudayaan masyarakat yang sudah di-setting sedemikian rupa oleh sistem kapitalis global. Kepemilikan materi berlimpah yang menjadi tujuan utama di banding dengan ketersambungan dengan leluhur merupakan awal yang akan merubah wajah manusia Madura ke depan. Mungkin, lima atau sepuluh tahun lagi Madura tidak akan kita temukan kecuali serpihan sejarah yang tercecer di rak buku perpustakaan dan toko loak di pasaran dengan embel-embel terbelakang dan selebihnya hanyalah pulau penuh mesin dan anak cucunya yang terasing di tanah kelahirannya sendiri.

*) Penulis adalah aktivis, pemerhati lingkungan, anggota BATAN, sekretaris MWC NU Gapura, dan Guru di MA Nasa 1. Alumni pascasarjananya UGM-FIB Antropologi. Tulisannya telah dimuat di media lokal dan Nasional.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.