Marlena, Perjalanan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk buku,
Episode Dua Puluh
“Anak sakit ya?” tanya wanita tua itu setelah memperhatikan raut wajah Marlena tampak pucat.
“Oh, tidak bu. Hanya sedikit pusing, mungkin masuk angin,” jawab Marlena sekenanya.
“Ini minyak angin, mungkin bisa membantu,” sodor wanita itu ke arah tangan Marlena. Marlena segera menyambutnya dengan ramah, lalu mengusapkan minyak angin di tangannya dan dioleskan pada kening dan tengkuknya.
“Terima kasih bu,” ucap Marlena
“Mau ke mana nak?”
“Sumenep bu,”
“Jauh sekali,”
Marlena mengangguk
“Ibu?” tanya Marlena kemudian.
“Ke Bangkalan.”
“O ya, kalau begitu ibu sering ke Surabaya?”
“Tidak juga nak, saya tadi hanya menengok anak ibu di Pegirian.”
“Ooo”
Percakapan kedua penumpang itu tidak sampai berlanjut, karena sesaat kemudian ferry telah merapat ke dermaga pelabuhan Kamal. Keduanya turun bersama, namun sesampai di jembatan mereka berpencar mencari kendaraan umum yang menuju arah masing-masing.
***
Di pembaringan, Pak Toha tidak mampu berbuat banyak. Meskipun tidak begitu tampak perubahan fisiknya, namun kadangkala terdengar lirih keluhan-keluhan sakit yang mulai menyerang ginjal kirinya. Meski demikian Pak Toha masih berusaha menahan sakit itu di hadapan anaknya, Fatimah.
Sedang Fatimah, sejak ayahnya jatuh sakit hampir setiap hari menengok keadaan ayahnya. Demikian juga Fajar beserta istrinya, sejak menerima kabar ayahnya sakit, mereka pun segera pulang ke Sumenep dua hari lalu.
“Lena belum juga datang ya?” seru Pak Toha di hadapan kedua anak dan menantunya.
“Belum Yah, mungkin sebentar lagi ia datang,” sahut Fatimah.
“Sebaiknya ayah opname saja, biar lebih baik pengawasannya,” saran Fajar yang kemarin memanggil dokter yang didatangkan ke rumahnya.
“Tidak usahlah nak, nanti juga akan baik sendiri.”
“Makanya ayah harus lebih berhati-hati merawat diri, tenaga ayah jangan terlalu banyak diforsir. Bila dipaksakan akhirnya akan lebih parah,” ujar Fatimah seraya menyeka air hangat di bagian pinggang kirinya.
“Nah itu Marlena datang,” sambut istri Fajar tergesa-gesa.
Mendengar nama itu, ayah dan kedua anaknya segera berpaling menyambut kedatangan adik angkatnya itu.
“Kak, bagaimana ayah kak?” tanya Marlena tergesa-gesa.
“Tenang, tidak apa-apa,” sahut Fajar menenangkan.
“Ayah,” seru Marlena menyalami dan mencium tangan Pak Toha.
“Oh, kau datang nak, syukurlah. Ayah telah merepotkan kalian.”
“Tidak ayah. Maafkan Yah, Lena terlambat.”
“Lho, jadi kapan telegramnya sampai?” kata Fajar heran mendengar ungkapan adiknya merasa terlambat.
“Tadi pagi Kak.”
“Padahal aku kirim kemarin lusa.”
“Yah, biarkan yang penting telah sampai. Toh tidak ada resiko apa-apa,” sahut Fatimah menengahi.
“Masalahnya bukan itu Tim. Ini kan menyangkut pelayanan masyarakat, sebenarnya yang berwenang harus lebih memperhatikan kepentingan masyarakat,” Fajar tidak puas akan pelayanan instansi yang berwenang.
“Aku ngerti, mereka tentu telah berusaha untuk melayani lebih baik. Tapi mungkin ada faktor lain yang menghambat.”
“Sudahlah kak, kenapa harus berdebat masalah itu,” cegah Marlena segera. “Lalu apa ayah tidak lebih baik dibawa ke rumah sakit,” kata Marlena kepada kedua kakaknya setelah meredam rindu.
“Maunya ya begitu, habis ayah menolak,” sahut Fajar.
“Sudahlah nak, tidak usah. Ayah lebih tenang di rumah saja,” ujar Pak Toha meyakinkan. “Sebenarnya di sini pun akan lebih baik dari rumah sakit”.
Akhirnya mereka maklum atas kehendak ayahnya itu.
Telah dua hari Marlena berada di rumah. Dengan waktu itu ia curahkan sepenuhnya merawat Pak Toha, meskipun di rumah tinggal pula istri Fajar serta seorang anaknya. Sedang Fajar sendiri harus kembali ke Sampang melaksanakan tugas yang tidak mungkin dapat ditinggalkan.
Kehadiran kedua wanita itu, ternyata banyak menghibur suasana duka Pak Toha. Apalagi Pramunsyi, cucu pertama dari anak Fajar itu, sangat menggemaskan bagi seisi rumah.
Pramunsyi yang masih berumur satu setengah tahun ternyata telah menampakkan gerak gesit serta mampu mengungkapkan kata-kata meski tidak jelas. Untuk itu Marlena sangat senang, bila memomong keponakannya itu.
“Bibi, uyang kapan?” kata Munsyi ketika keduanya sedang asyik bersenda gurau.
“Kenapa mau ikut ya?” seloroh Marlena.
“Iya, Uci ikut. Tapi beyikan mobing-mobingan. Eeenggg ….” kata Munsyi seraya mempraktikkan sebuah mobil dari telapak tangannya.
“Iya deh, tapi ingat Uci tidak boleh nakal,” jawab Marlena bergurau.
Anak kecil itu menggelengkan kepala. Tapi sesaat kemudian tiba-tiba menangis tatkala ibunya hendak pergi meninggalkan rumah.
“Ekut bu,” katanya. Marlena segera membujuknya hingga diam.