Penyakit Pak Toha akhirnya beringsut agak brkurang, meski kadang masih terasa nyeri di bagian kiri pinggulnya. Namun sebagaimana hasil diagnose dokter, bahwa penyakit yang diderita Pak Toha tidak begitu parah, hanya terganggu sedikit infeksi pada ginjalnya,” kata dokter Fitril beberapa hari lalu.
Kalau memang melihat latar belakang kegiatan Pak Toha yang banyak menyita waktu fisiknya dan banyak duduk, maka tak heran bila akhirnya gejala penyakit ginjal itu mulai terasa pada masa tuanya. Sebenarnya penyakit itu hanya berupa gangguan kecil yang tidak berakibat fatal, mungkin lantaran kekuatan fisik Pak Toha tidak mampu bertahan melawan penyakit itu, akhirnya terasa sangat memberatkan bagi dirinya. Sehingga seakan mempengaruhi seluruh tubuhnya. Dengan demikian akhirnya Pak Toha tidak mampu menahan lebih kuat lagi, kecuali istirahat total di tempat pembaringan.
Selama itu memang sangat mengkhawatirkan bagi Fatimah. Fatimah yang telah terbiasa berkumpul dengan ayahnya setiap saat, maka dengan perubahan ayahnya itu, menjadikan dirinya agak terganggu pikirannya. Rasa khawatir dan takut selalu menghantui selama belum mendatangkan kakak dan adiknya. Untuk itu ia segera menelegram Fajar. Setelah Fajar tiba, baru kemudian Fajar segera menelegram Marlena setelah melihat keadaan ayahnya makin berubah.
Dan kini setelah anak-anaknya berada di hadapan Pak Toha, akhirnya Pak Toha menyadari, seakan dirinya merasa bersalah menimbulkan kekhawatiran bagi anak-anaknya. Dalam hal hubungan antara ayah dan anak-anaknya, sebenarnya Pak Toha selalu terbuka dalam segala masalah. Namun satu hal yang sering menimbulkan rasa kesal terhadap anak-anaknya, ialah sikap Pak Toha yang tidak mau melibatkan orang lain yang sekiranya akan menimbulkan kekhawatiran, meski pada anak-anaknya sendiri.
Kalau memang Pak Toha mau jujur, kemungkinan penyakit yang diderita Pak Toha telah mengidap lama. Namun Pak Toha selalu berusaha menutupi diri dengan berobat secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan anaknya. Dan akhirnya terasa tersiksa setelah kambuh berikutnya, maka kali ini Pak Toha tidak tahan lagi menahan lebih lama.
“Sudahlah kau kembali saja nak. Nanti kuliahmu terganggu. Ayah tidak apa-apa kok,” kata Pak Toha pada Marlena.
“Ayah kan belum sehat, Yah?”
Siapa bilang. Sebenarnya ayah tidak begitu parah. Tapi kakakmu itu yang menelegrammu,” ujar Pak Toha penuh perhatian terhadap Marlena.
“Sekarang ayah bilang gitu. Coba bagaimana ketika ayah tidak mampu duduk karena sakit bagian pinggangnya,” timpal Fatimah ingin memojokkan ayahnya.
“Benar ayah. Ayah tidak terus terang pada kami,” ungkap Marlena.
“Apanya yang harus terus terang. Ayah tidak apa-apa kok,” timpal Pak Toha meyakinkan yang kini telah dapat duduk di kursi dengan sikap terlentang.
“Tapi….”
“Sudahlah ayah pasti sembuh. Kau harus lebih memperhatikan kuliahmu. Bila kau terlalu lama di sini, kau kan rugi sendiri,” jelas Pak Toha penuh pengertian.
“Benar Len, baiknya kau segera kembali saja. Toh di sini ada aku dan kak Marmi,” ujar Fatimah sambil menunjuk isteri Fajar.
“Aku agak lama kok di sini. Dan kebetulan Mas Fajar sedang penataran di Malang. Jadi meski ayah tidak sedang sakit, aku juga bermaksud sementara disini,” kata isteri Fajar.
“Baiklah kalau begitu, besok pagi aku berangkat,” kata Marlena kemudian.
“Uci ekut, Bi Len,” tiba-tiba suara kecil terlontar di antara perbincangan mereka. Mendengar ucapan itu semuanya menjadi tertawa.
“Bibi kan sedang sekolah,” timpal ibunya.
“Iya Uci juga ekut oleh.”
“Iya deh, tapi sekarang bobok dulu sudah malam,” sahut Marlena lalu meraih anak kecil itu dari tangan ibunya. Menerima uluran tangan bibinya, Munsyi merasa senang. Lalu segera mengangkat tubuh kecil itu ke dalam gendongan Marlena. Hanya beberapa saat keduanya bersenda gurau, lalu anak kecil itu telah lelap dalam gendongan bibinya.
Pagi masih remang ketika Marlena meninggalkan rumah. Sementara Pak Toha merasa terharu atas perhatian anak angkatnya itu yang kini telah menyatu dalam hatinya. Bagi Pak Toha, kehadiran Marlena di tengah-tengah keluarganya, mempunyai arti tersendiri. Anak nelayan miskin itu ternyata memiliki pemikiran yang sempurna dalam segala hal. Hal ini tentu berkat perjuangan kedua anaknya yang telah berinisiatif mengangkat diri Marlena ke derajat yang lebih lebih berarti, baik bagi dirinya sendiri maupun pada keluarga Pak Toha. Kedua anak kandung Pak Toha mengerti betul, makna hubungan antara sesaudara, sehingga tidak timbul rasa iri atau pemikiran yang sekiranya mengganggu ketentraman keluarga.
Kesan inilah yang kerap mengharukan hati Pak Toha. Ia kali ini merasa lepas dan tidak membebani permasalahan baru, bila pada suatu ketika nanti harus meninggalkan anak-anaknya.
“Kalian berbaik-baiklah kepada adik angkatmu itu. Dia adalah anak yatim piatu, yang perlu mendapat perhatian dari kita,” kata Pak Toha suatu ketika dulu.
Sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam Al-Qur’an: “Adapun terhadap anak yatim janganlah berlaku sewenang-wenang.” Untuk itu kata Pak Toha dengan menyitir sabda Nabi, “Hati-hatilah kamu terhadap penyakit kesal (iri dan dengki) karena kesal itu memakan amal-amal kebaikan, seperti api memakan kayu bakar.”
Dengan demikian, kata Pak Toha lagi, “Bila aku mencurahkan perhatianku kepada Marlena, tidak berarti aku mengesampingkan kalian, tapi semata-mata menjaga agar antara kalian mendapatkan porsi yang sama.”
Kalimat-kalimat itu ternyata melengkapi kedua hati anak Pak Toha hingga sekarang. Maka tidaklah heran, bila antara ketiganya hampir tidak sampai terjadi perselisihan.
Dan kini, dari perjalanan hidup dalam mengarungi kehidupan rumah tangga, ternyata telah berlalu beberapa tahap, bahkan seorang cucu yang selalu diimpikan oleh Bu Rasmi sebelum meninggal dulu, telah menjadi kenyataan. Fajar telah memberikan tambahan kebahagiaan bagi seorang kakek. Dan kakek Toha terasa kental membuai kasih sayang terhadap cucunya. Maka tak heran, hampir seluruh sisa waktu senggangnya, tak pernah lepas dari gurau dan senda bersama Pramunsyi.
Memang kalau Tuhan menghendaki, kebahagiaan manusia bisa selalu beruntun datang. Setelah cucu dari anak Fajar, ternyata cucu kedua sesaat lagi akan muncul dari kandungan Fatimah, meskipun masih mengendap dua bulan. Dengan demikian, Pak Toha setelah cucu keduanya lahir kelak, hari-harinya akan banyak digenangi gelak tawa kecil dari bayi mungil. Itulah yang disebut nikmat dan barokah yang diturunkan Tuhan kepada umatnya. Bahagia, duka, sengsara, merupakan bagian-bagian kecil yang pasti akan dirasakan setiap manusia. Duka dan sengsara telah sering menyikapi perjalanan hidup Pak Toha. Dan ini sudah saatnya bila Pak Toha memetik hasil buahnya dari perjuangan hidupnya dulu.