Marlena; Guncangan Kecil

Hari-hari Pak Toha bergulir begitu saja. Seakan kehadiran hari terlalu cepat merengkuh minggu. Seminggu bagi Pak Toha dirasakan seperti beberapa saat saja. Hal ini makin terasa sejak Fajar menjemput istri dan anaknya, hari-hari Pak Toha telah kembali sebagaimana hari-hari sebelumnya. Sepi, menunggu dan sabar adalah untaian hati yang kerap bergulat di dadanya. Dari pengalaman hidup yang pernah ia jalani, bagi Pak Toha merupakan obat penenang yang paling mujarab. Sabar disini, sabar yang tercetus dari hati yang paling dalam. Sabar dan memasrahkan diri dalam khusuk dan tawadduk ke hadirat Yang Maha Pencipta.

Dalam kesendirian itu, hanya Fatimah satu-satunya harapan untuk menciptakan suasana baru. Suasana yang dapat melepaskan dari cengkeraman sepi pada sisa-sisa usianya. “Sebaiknya ayah berkumpul di rumah kami saja,” saran Fatimah suatu ketika yang didukung oleh Darwis suaminya.

Mendengar tawaran itu, Pak Toha hanya mampu menyampaikan terima kasih kepada anak dan menantunya.

“Lalu bagaimana rumah ini?” kata Pak Toha.

 Mendapat penyampaian ayahnya itu, Fatimah dan Darwis tidak dapat memberi alasan.

“Sudahlah, kalian tidak perlu banyak memikirkan ayah. Kalian butuh ketenangan menghadapi kandungan anak pertama,” ungkap Pak Toha. “Toh, ayah kan sering berkunjung ke rumah kalian. Demikian pula kalian pun setiap saat bisa menengok ayah,” jelas Pak Toha.

Alasan ayahnya itu akhirnya tidak dapat dikomentari lagi. Kedua rumah tangga ayah dan anaknya itu sama-sama memiliki tanggung jawab masing-masing. Kalaupun Fatimah harus mengalah dan menetap di rumah orangtuanya, berarti akan menyepelekan usaha suaminya. Padahal sebagai istri, Fatimah mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap suami.

*****

Mata rantai kehidupan manusia itu tak ubahnya seperti ombak laut yang mengantarkan perahu layar menuju arah harapan, namun apabila ombak laut didaulat oleh angin sakal, maka perahu-perahu yang berlayar di atasnya akan mengakibatkan bencana bagi pengemudinya bila tanpa diimbangi oleh kemampuan dan keterampilan sebagai orang laut.

Demikian juga terjadi pada diri Pak Toha. Perjalanan hidup yang ia kemudikan telah diimbangi oleh segenap kemampuan dan keterampilannya, hingga mengantarkan dirinya ke arah gerbang harapan. Gerbang harapan yang pernah ia susun dari waktu ke waktu. Akhirnya membuahkan jalan mencapai akhir tujuan sesuai dengan harapannya. Itulah Pak Toha, yang telah siap membekali diri dengan segala permasalahan dan perjuangan untuk menyiasati hidup, yang menurutnya hidup ternyata tak lebih dari lintasan perjalanan manusia dari suatu masa ke masa lain.

“Ah, kemarin aku lahir, sekarang aku hidup dan besok pasti aku akan mati. Begitu pendek perjalanan hidup manusia,” begitu batin Pak Toha bila mengingat perjalanan hidupnya yang ia jalani selama ini.

Dari perjalanan yang pendek itu. Pak Toha tidak menyangkal, bila dirinya telah melampaui kerikil-kerikil tajam yang kadang hampir memusnahkan harapannya. Dan mungkin tidak akan dapat dihitung dengan dua puluh jari tangan dan kakinya yang bertubi-tubi menderanya. Meski demikian, diri Pak Toha selalu lapang dada menerima dengan ikhlas cobaan-cobaan yang sebenarnya merupakan batu ujian bagi dirinya. Sejauh mana keikhlasan manusia dapat mensyukuri kenikmatan Tuhan yang berupa alam dan isinya ini. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.