Mengenang semua itu, Pak Toha jadi geli. Proses berkembang jiwa manusia ternyata tidak selamanya statis. Namun ternyata pengaruh lingkungan sangat besar artinya untuk mengubah bentuk watak manusia. Yah, seperti istrinya itu, yang kini telah luluh oleh kenyataan hidup Marlena, yang sebenarnya telah berbekal sikap dan tingkah laku yang cukup baik di hadapan Bu Rasmi atau pun pada yang lain meskipun ia diberangkatkan dari sebuah keadaan desa yang telah larut dalam suatu sikap dan gaya hidup alami.
“Tapi kenapa kini harus berubah?” batin Pak Toha. Kehendak Yang Kuasa memang tidak bisa dirancang oleh manusia, kalau Tuhan menghendaki demikian, manusia tidak akan mampu menolaknya: “Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah:20).
Ketika mobil kijang memasuki halaman, lalu segera disambut oleh beberapa penghuni rumah itu. Selain Pak Toha sendiri, juga di situ telah berkumpul Pak Jamil, Narti serta teman-teman Marlena yang lain. Demikian juga para tetangga, seakan merasa kehilangan seorang tetangganya, yang kerap menjadi pusat perhatian baik pemuda sekitar, maupun para ibu rumah tangga yang kerap memuji kesopan-santunan anak tetangganya itu.
Sedang Bu Rasmi sendiri, tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tergolek dalam kamar dalam kondisi lemah. Ibu angkatnya itu, kadang-kadang hanya berseru memanggil-manggil nama Marlena dalam suara lemah.
“Bagaimana nak, ada berita baik?” tanya Pak Toha pada anak dan menantunya itu di ruang dalam.
“Ya, dugaan ke sana memang ada. Tapi kita belum tahu pasti kenyataannya nanti,” jawab Darwis berat. “Hasil penjajakan kami, telah kami laporkan ke polisi. Dan sekarang ini juga pihak kepolisian telah berangkat mencari jejak Kamil.”
“Lalu kira-kira di mana sekarang?” Pak Toha penasaran.
Menurut pengakuan istrinya, berada di Sepulu.
“Bangkalan.”
“Iya, Yah.” sahut Fatimah.
“Mudah-mudahan berhasil.”
“Kita doakan saja,” kata Darwis singkat. “Dan saya akan menyusul ke sana,” kata Darwis kemudian.
“Aku ikut,” pinta istrinya.
“Jangan. Kau temani ibu saja. Biar ayah bersamaku saja.”
“Baiklah. Hati-hati, jangan terlalu gegabah berhadapan dengan Taufik nanti,” harap Fatimah.
“Jangan kuatir, toh kami bersama pihak kepolisian.”
Setelah Darwis dan Pak Toha berlalu menuju Bangkalan.
Fatimah baru sadar, bahwa di hadapannya tidak tampak ibunya. Sementara yang lain, telah mendapat keterangan seperlunya dari Fatimah. Tamu-tamu itu ternyata merasa ikut prihatin atas kenyataan itu. Fatimah berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada mereka, yang ikut prihatin atas musibah keluarga itu. Bahkan beberapa teman wanita Marlena, tampak sembab kelopak mata mereka. Hal ini menjadikan rasa haru makin dalam terhadap diri Fatimah.
Baru kemudian nyonya muda menemui ibunya di kamar. Sedang di kamar sendiri, tampak Narti sedang menunggui Bu Rasmi.
“Bagaimana Nar?” Fatimah haru.
“Sudah mulai membaik. Namun, sering mengigau menyebut nama Marlena.”
“Oh.”
“Lalu bagaimana, bagaimana hasilnya?”
“Yah, masih dicari. Sekarang mas Dar bersama ayah ke Bangkalan mendampingi pihak polisi.”
“Bangkalan?”
“Iyah, ke Sepulu.”
Percakapan itu lalu terhenti, ketika terdengar dari mulut ibunya mengeluh dan menyebut nama Marlena. Hati Fatimah terasa diiris-iris mendengar keluhan itu. Namun ia pun sebenarnya ikut merasakan, apa yang terjadi terhadap hatinya sendiri.
Melihat bayang-bayang anak putrinya itu, mata Bu Rasmi mencoba memandang, namun teras kabur penglihatannya. Setelah ia paksakan, baru kemudian ia tahu, bahwa di hadapannya tampak wajah Fatimah.
“Bagaimana adikmu nak, ketemu,” tanya Bu Rasmi dalam suara parau.
“Yah, sebentar lagi ia kembali bu. Sabarlah,”.
“Iya, bu sabarlah bu. Insya Allah, Tuhan akan menyelamatka jiwa Marlena,” sambung Narti ikut haru.
“Kau nak Narti. Oh.”
“Iya bu. Ibu harus sabar mendapat cobaan ini. Mudah-mudahan Marlena kembali dengan selamat,” ujar Narti. “Kak Timah, aku pergi dulu. Nanti aku kembali lagi,” lalu pada Fatimah.
“Yah, terima kasih dik Nar. Itu aku lihat Pak Jamil di ruang depan.”
“Yah, memang tadi bersamaku.”
Beberapa saat kemudian Narti meninggalkan kamar Bu Rasmi. Sementara Fatimah menggantikan Narti menunggui ibunya. Sekali-kali diusapnya kening ibunya. Di tangannya terasa hangat menjalar di telapak tangannya. Lalu ia segera mengambil handuk kecil lalu mengompreskannya dengan air dingin.
“Mana suamimu Nak?” seru Bu Rasmi agar terang.
“Ia bersama ayah mencari jejak adik Lena ke Bangkalan.”
“Oh, Bangkalan. Jauh sekali.”
“Iya Bu. Mudah-mudahan Dik Lena segera diketemukan.”
Matahari mulai menukik ke ujung barat. Berita kedatangan Darwis dan Pak Toha masih belum tampak. Hal ini semakin membuat gelisah Bu Rasmi. Namun Fatimah selalu membujuk meyakinkan, bahwa adik angkatnya itu pasti pulang selamat, meskipun di balik hati kecilnya masih digaluti rasa ragu-ragu.
*****
Di sore itu pula, Pak Toha sedang melepaskan rasa haru dalam pelukan tangis anak angkatnya itu. Sedang Marlena sendiri, seakan tidak mampu lagi, menuangkan rasa rindu dalam jerit tangis yang mengharukan. Ia seakan merasakan, dirinya telah mempunyai harapan lagi melanjutkan perjalanan hidup, yang hampir dibantai habis oleh kenyataan-kenyataan itu. Tak lepas-lepasnya Marlena memuji syukur atas pertolongan yang diberikan oleh Tuhan. “Allah telah menunjukkan jalan terbaik untuk kita,” seru Pak Toha dalam sendu.
“Ayah maafkan Lena Yah. Lena telah banyak menyiksa ayah beserta Ibu. Maafkan ayah, oh….,” seru Marlena masih dalam suasana sedih. “Bagaimana keadaan ibu, ayah?”
“Tidak apa-apa nak. Mudah-mudahan sekembalimu nanti menjadi obat bagi ibumu.”
“Oh, kasihan ibu. Lena rindu sekali.”
“Yang penting, tenangkanlah hatimu. Mari kita segera pulang.”
“Oh, Kak Darwis, maafkan Lena Kak.” Kemudian pada Kakak iparnya itu dalam pelukan haru.
“Tuhan telah menguji kita, sejauh mana kesabaran kita menantang hidup ini,” simpul Darwis penuh pengertian.
“Terima kasih, Kak. Kak Darwis telah menolong saya,” seru Marlena dalam isak.
“Itu sudah merupakan kewajiban kami. Yang penting, kamu harus bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, karena hanya rahmat dan pertolonganNya dapat mempertemukan kita.
*****