Suatu isyarat yang tidak terduga sebelumnya, bila akhirnya kenyataan baru muncul tiba-tiba. Ketika sedang sibuknya para nelayan mengemasi hasil tangkapannya. Di salah satu sudut perkampungan nelayan itu, tampak sekelompok anak muda sedang berbincang-bincang. Saat itu mata Darwis dan Pak Toha, sedang memperhatikan satu persatu warga yang lalu lalang dan kemudian tertumbuk pada sekelompok orang itu. Di benak mertua dan menantu itu timbul rasa curiga, sebab dipandang dari sudut penampilan, mereka tidak menunjukkan tanda-tanda sebagai penduduk setempat. Untuk itu, Pak Toha meyakinkan diri, bahwa di antara mereka pasti ada yang mengenal atau terlibat bersama Kamil.
Melihat kenyataan itu, Pak Toha segera mencari siasat. Pak Toha segera mendekati dalam jarak yang cukup, sementara Darwis segera melaporkan pada salah seorang petugas intel yang menyamar sebagai penduduk biasa. Hanya beberapa saat saja, ketika polisi itu mendekati sasaran. Namun kenyataan berikutnya lima orang laki-laki itu merasa curiga atas kehadiran tamu baru itu.
Bagi mereka kecurigaan itu terlambat, karena hanya beberapa saat saja kelima orang itu telah dibekuk. Sementara seorang mencoba melarikan diri, namun terlambat, pihak keamanan telah meletupkan senjata api peringatan, namun setelah tiga kali bunyi letupan tidak diperhatikan, baru moncong pistol itu diarahkan ke kaki yang mau lolos itu. Dan satu tembakan itu, tepat mengenai betisnya, hingga akhirnya roboh tak mampu melangkah lagi.
Setelah diurus, ternyata korban sasaran itu adalah Kamil sendiri, yang sekaligus menjadi otak penculikan Marlena. Namun bagi Pak Toha, belum lega, bila diri anak angkatnya itu belum diketemukan. Baru kemudian setelah mendapat petunjuk dari kelompok penculik itu, baru segera diambil dari suatu tempat yang cukup jauh dari pandangan mata warga sekitar dalam sebuah rumah, dan di sana Marlena sedang dikurung dalam sebuah kamar. Baru kemudian meledak tangis haru dari ayah dan anak angkat itu.
“Bapak dan putri Bapak silahkan ke Polres dulu, setelah urusan selesai, Bapak diperbolehkan pulang, kata seorang aparat negara yang ternyata sebagai komandan pencarian itu. Setelah ketiganya melepaskan haru, baru kemudian menuju ke kapolres.
Bu Rasmi, Fatimah dengan yang lain, menunggu kedatangan Pak Toha, dan Darwis dalam keadaan cemas. Sekali-kali ditengoknya lorong depan bila terdengar suara mobil melintas di depan rumah itu. Namun berkali-kali pula mereka kecewa, lantaran tak satu pun yang langsung masuk halaman rumah besar itu.
Jam dinding telah berdentang delapan kali, namun tanda-tanda kedatangan mereka belum tampak juga. Sementara teman dan kerabat Marlena serta tetangga sekitar, masih sabar dan harap cemas menanti kedatangan penjemput Marlena. Hal ini membuat Bu Rasmi semakin cemas, meskipun kali ini ia mencoba bertahan dalam penantian.
Hanya beberapa saat saja, setelah dentang bunyi jam berlalu, sebuah mobil kijang menyeruak di halaman. Saat itulah, orang-orang di rumah keluarga Pak Toha, yang dicemasi oleh suasana penantian, tiba-tiba bergejolak menyambut kenyataan baru yang mungkin membentuk suasana suka atau maupun duka. (*)