Kecelakaan itu berakibat fatal bagi Bruddin. Sendi-sendinya tidak lagi mampu digerakkan, sedang kepalanya terasa mau pecah terkena benturan badan sampan. Dadanya terasa sesak dan mengalami kesulitan untuk bernafas. Dengan sendirinya Bruddin tak mampu lagi melakukan tugas-tugasnya sebagai buruh angkut ikan atau menjaring ikan dilaut.
Sementara Marlena sendiri merasa selalu dihantui mimpi buruk yang telah menimpanya. Walaupun dia merasa ketakutan, tetapi Marlena tetap bungkam dan tidak menceritakan mimpi itu pada ayahnya. “Lena mimpi ketemu ibu,” hanya itulah jawaban yang diberikan pada ayahnya.
Kini setelah ayahnya mengalami kecelakaan di laut, beban hidup Marlena menjadi semakin berat. Waktunya banyak tersita untuk mengurus ayahnya yang sedang sakit, sehingga tak ada lagi waktu untuk belajar atau bermain kejar-kejaran bersama teman-temannya. Lambat laun prestasi Marlena di sekolah semakin merosot.
Dalam keadaan seperti ini, banyak tetangga Bruddin yang membantu untuk meringankan beban mereka. Haji Mastur dan istrinya, tak pernah lupa untuk memberi bantuan untuk kebutuhan Marlena dan Bruddin sehari-hari. Namun demikian, Marlena yang masih kelas dua SD itu tidak ingin menggantungkan hidupnya pada orang lain. Maka dipilihlan jalan ini, dengan tangannya yang mungil dia harus menjinjing keranjang dan menjual jasa sebagai buruh ankut ikan-ikan yang baru turun dari perahu. Demi kegiatannya yang baru, Marlena terpaksa dia sering bolos sekolah.
Biarpun Marlena sudah banting tulang bekerja di pantai, toh kebutuhannya sehari-hari belum tercukupi. Apalagi makin hari penyakit Bruddin semakin parah. Bahkan Pak Mantri Kesehatan Puskesmas menyarankan agar Bruddin di rawat di rumah sakit Kabupaten. “Penyakitnya cukup parah. Satu-satunya jalan, Pak Bruddin harus rawat tinggal di rumah sakit Kabupaten, agar mendapatkan perawatan secara intensif,” begitu saran Pak Mantri pada Haji Mastur yang rajin mengantar dan membiayai Bruddin berobat.
“Biar aku di rumah saja Man Haji,” kata Bruddin lemah.
“Tapi kamu butuh pengobatan serius Din,” bujuk Haji Mastur. “Dan kamu tak perlu memikirkan biaya. Soal itu biar aku yang nanggung,” tambahnya.
“Terima kasih. Man Haji telah banyak membantu kebutuhan keluarga kami bahkan semua biaya pengobatanku Man Haji yang nanggung. Tapi biarlah aku di rumah saja,” Bruddin ngotot.
Man Haji tak diam. Rupanya dia telah kehabisan kata-kata untuk merayu Bruddin.
Beberapa hari selanjutnya tubuh Bruddin yang kurus kering itu sudah mulai bisa duduk. Berkat perawatan Marlena yang sabar dan telaten, kesehatan Bruddin berangsur-angsur membaik. Hal ini membuat semangat Marlena rajin masuk sekolah untuk mengejar ketinggalannya. Dan sebagai anak yang pintar, Marlena tidak memerlukan waktu yang lama untuk memulihkan prestasinya.
Bila Marlena pergi sekolah, Bruddin tinggal di rumah sendirian. Kadang di temani tetangganya, kadang pula di temani Haji Mastur. Namun kali ini kedatangan Haji Mastur agak istimewa. Dia tidak datang sendiri, tetapi ditemani istrinya yang membawa sebuah bungkusan yang besar dan rapi.
Pada awalnya, pembicaraan mereka santai dan ringan. Namun setelah berbasa-basi secukupnya, Haji Mastur mulai mengungkapkan maksud yang sesungguhnya.
“Sebenarnya aku ingin mempererat tali persaudaraan kita,”mkata Haji Mastur hati-hati. Sementara Bruddin mendengar dengan serius.
“Nah, karena itulah setelah kami pertimbangkan masak-masak, kami akan sangat senang dan bahagia, bila Marlena di jodohkan dengan Kamil. Itu pun bila Lè’ Bruddin tidak keberatan,” kata Haji Mastur pada pokok persoalan.
Mendengar itu, Bruddin terhenyak. Ia tidak yakin bila kata-kata itu keluar dari bibir Haji Mastur yang selama ini banyak berkorban untuk kebutuhannya. “Apa Man Haji tidak salah ?’’ tanya Bruddin ragu.
“Maksudnya, Lè’ Bruddin menolak ?” tanya Hajjah Minah, istri Haji Mastur, penasaran.
“Bukan begitu Buk (embuk: panggilan akrab kakak wanita Madura),” Bruddin segera menimpali. “ Kami ini tak lebih dari seonggok daging yang tidak mempunyai harapan apa-apa. Sementara sekarang ini Buk Minah kan tahu keadaan kami, lalu apa yang yang dijadikan modal perkawinan mereka?” tanya Bruddi masygul.
“Itulah hidup, Din,” timpal Haji Mastur. “Sesungguhnya aku memandangmu bukan dari keadaan rumahtanggamu. Tapi lebih jauh dari itu. Kita ini, pada hakikatnya sama saja, kaya miskin itu tidak ada bedanya,’’ tandas Haji Mastur.
“Benar Lè’ Bruddin. Sebenarnya kekayaan itu terletak di hati kita,” sambung Hajjah Minah. “Banyak contoh yang dapat kita simak. Ada sementara orang dengan kekayaan di dunia yang melimpah ruah, nyatanya mereka semakin tersiksa oleh keadaan dirinya. Bila demikian, kita akan lupa diri dan melupakan dari mana asal usul harta benda itu. Padahal harta itu hanya titipan Allah semata,” kata Hajjah Minah.
Mendengar itu, Bruddin justru salah tingkah. Ucapan itu sebenarnya sering ia dengar. Namun hampir tidak yakin bila kali ini ia mendengar kata-kata itu dari bibir Buk Minah. Sebenarnya dibalik hatinya Bruddin tidak setuju dengan rencana keluarga Haji Mastur. Karena dengan alasan apapun Haji Mastur telah dianggapnya sebagai dewa penolong. Kalaupun Haji Mastur bermaksud menjodohkan Kamil dengan Marlena, dalam anggapan Bruddin hal itu terlalu berlebihan. Namun semuanya telah tumpah, dan tak mungkin Bruddin menolaknya. (*)
Bersambung episode lima; Marlena; Keluarga Toha