Marlena; Senandung Bunga Cinta

Taufik masih terduduk di tempatnya. Dinikmatinya lenggang Marlena hingga masuk ke kelasnya. “Kijang yang lincah dan menarik hati,” puji Taufik. Dalam hati dia berjanji untuk menjinakkan kijang itu dan memeliharanya dalam kebun hatinya yang sejuk.

“Mau belajar atau melamun?” tegur Pak Jamil pada Marlena. Rupanya pertemuannya dengan Taufik masih mengganggu pikirannya.

Marlena salah tingkah mendengar teguran itu, sementara murid-murid yang lain menertawakan tingkahnya yang serba salah.

“Kalau mau belajar, simpan dulu lamunannya. Dan kalau mau melamun, lebih baik melamuni saya,” ujar teman sekelas di bangku belakangnya.

“Huuuu, melamun ni ye…!” sambut murid yang lain.

“Sudah, sudah,  persoalan lamunan, biar nanti saya selesaikan sendiri dengan Marlena.” kata Pak Jamil.

Sebagai guru muda, memang Pak Jamil berniat untuk memetik bunga-bunga di tempat dia mengajar. Dan rupanya pilihan itu jatuh pada diri Marlena yang nampak sederhana, pintar, dan lincah seperti rusa hitam. Namun sejauh ini, Pak Jamil belum pernah mengungkapkan isi hatinya pada Marlena. Tentu saja Marlena tidak tahu bagaimana perasaan Pak Jamil terhadapnya. Yang dia tahu Pak Jamil itu orangnya gendut, lucu dan baik hati. Tak pernah terbayang bila guru muda itu menaruh hati padanya.

Cinta pertama mampu melambungkan Marlena ke awang-awang. Hari-harinya selalu dipenuhi oleh bayang senyum Taufik yang menawan. Belajar tak pernah konsentrasi, semua kertas yang dibuka, semua dinding yang dilihat terpantul tatapan mata Taufik yang sejuk dan penuh kedamaian. Setiap pergi dan pulang sekolah, Marlena selalu bersama Taufik. Di situ ada Marlena, di situ pasti ada Taufik.

Hal ini tentu membuat hati Pak Jamil menjadi kecut. Bahkan pernah suatu kali, ketika Taufik sedang berboncengan sepeda motor sepulang dari sekolah, tiba-tiba Pak Jamil tancap gas mendahului mereka. Taufik dan Marlena yang tidak menduga akan hal tersebut, hampir terserempet. Untung Taufik segera banting stir hingga serempetan maut itu bisa dihindari. Dari sinilah Taufik tahu bahwa sebenarnya dia mempunyai saingan yang cukup berat. Tapi dia tak dapat berbuat apa-apa, karena dia adalah murid, sedang saingannya adalah guru.

Namun sejauh ini, Marlena tidak menanggapi galau perasaan Pak Jamil. Sikapnya terhadap guru muda itu tetap seperti sedia kala. Marlena sangat menaruh hormat pada Pak Jamil, apalagi pelajaran matematika memang kegemaran Marlena.

Marlena semakin hanyut dalam kehidupan remaja yang melanda dirinya. Dia hampir melupakan kewajibannya sebagai pelajar. Semakin hari nilai pelajaran Marlena semakin merosot. Turunnya prestasi Marlena, membuat Pak Toha menjadi heran. Semenjak pindah ke kota, Marlena selalu menjadi bintang kelas, tetapi mengapa kali ini prestasinya begitu buruk? Marlena sangat menyukai pelajaran matematika, tetapi mengapa justru mata pelajaran itu nilainya paling kecil? Pak Toha tak habis pikir, apa yang sebenarnya terjadi pada anak angkatnya itu.

“Lena, sini !” panggil Pak Toha.

Mendengar panggilan itu, Marlena bergegas menghampiri ayah angkatnya.

“Ada apa ayah?” tanya Marlena.

“Lihat nih,” kata Pak Toha sambil mengacungkan raport Marlena.

“Raportmu kok kebakaran ini ada apa?” tanyanya lebih lanjut.

Marlena menunduk, tanpa menjawab sepatah kata pun.

“He, ayo jawab ! Apa perlu aku bertanya langsung kepada gurumu?” tanya Pak Toha sedikit keras. Karena dia tidak ingin anaknya terseret arus kota yang kurang baik.

“Jangan Ayah…!” pinta Marlena memelas.

“Baik, kalau begitu ceritakan apa yang terjadi, sehingga nilai raportmu banyak yang merah.”

Dengan sedikit rasa takut, Marlena menceritakan semua perjalanannya kepada Pak Toha yang telah dianggap sebagai orang tua kandungnya sendiri.

“Lena mengaku salah ayah,” katanya kemudian.

“Hati-hati nak , kelemahan seorang wanita itu terletak pada perasaannya,” tutur pak Toha sambil membelai kepala anaknya.

Dipandanginya wajah cantik Marlena. Betapa wajah itu telah berubah total. Keluguan gadis pesisir yang dulu, kini telah hilang, yang ada hanyalah seraut wajah gadis remaja kota yang telah dilanda bunga cinta. Bagaimanapun juga Pak Toha tak ingin Marlena gagal dalam meraih cita-cita.

Marlena yang diliputi penyesalan, menumpahkan kekesalannya dalam tangis. Ingin rasanya dia kembali menjadi Marlena yang lugu, polos, tanpa ikatan cinta dengan siapa-siapa. Dia menyesal betapa dia telah berbuat sesuatu yang sia-sia, bahkan sangat merugikannya, yaitu nilai raportnya jelek. Dia sangat malu dan menyesal. Ingin dia memutuskan jerat-jerat cinta yang telah membelenggu hatinya.

Tanpa sepengetahuan Marlena, Fatimah telah duduk di pembaringan Marlena.

“Sudahlah dik, tak usah dirisaukan. Yang lalu biarlah berlalu. Yang penting, sekarang berjanjilah pada dirimu sendiri, bahwa kamu tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Jangan membiarkan dirimu larut dalam perasaan dan nafsu. Bukankah kakak dulu sudah menasihati  padamu, bahwa pacaran itu ada aturan dan batas-batasnya? Sebagai wanita, kita ini seperti balon. Bila ditiup akan menggelembung, kemudian akan terbang terbawa oleh arah angin. Bila salah arah, akan pecah,” ujar Fatimah bijak.

“Tapi Lena benar-benar menyesal Kak,” seru Marlena dalam tangis.

“Tapi kamu masih punya banyak kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu. Bertaubatlah dan mintalah petunjuk pada Allah. Dia maha pengasih, pasti mau memberikan petunjuk pada umatnya yang memerlukan,” lanjut Fatimah.

“Terima kasih Kak…!” ucap Marlena tersedu-sedu. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.