Penyesalan itu justru muncul tatkala Marlena telah pergi dari lingkungan keluarganya. Dan ternyata kepergian Marlena saat itu menimbulkan gejolak, baik di dalam lingkungan keluarga H. Mastur maupun lingkungan tetangga sekitarnya. Maka setelah peristiwa itu, Kamil berusaha mencari keberadaan Marlena. Ia buang begitu saja waktu-waktunya menelusuri pelosok demi pelosok, bahkan di kota Marlena berada pun telah Kamil jajaki. Namun pencarian itu sia-sia.
Dugaan semula, Marlena telah kawin dengan laki-laki lain. Bahkan Kamil pernah berang dan penasaran, ketika salah seorang warga kampung Lebak melihat Marlena di suatu tempat di kota ini. Saat itu juga Kamil berangkat dan mengaduk seisi kota, namun hasilnya sia-sia.
Harapan bertemu Marlena, sebenarnya talah dipersiapkan sedemikian rupa. Ia bertekad untuk mengubah dirinya, menjadi manusia yang bertanggung jawab atas dirinya maupun terhadap orang lain. Untuk itu, perubahan itu ditampakkan dalam wujud yang lebih berarti sebagai juragan perahu setelah ayahnya, Haji Mastur meninggal dunia. Dengan demikian, pada suatu ketika nanti wujud ini akan lebih berarti bila Marlena kembali ke dalam hatinya.
Tapi justru kini kenyataan Kamil menjadi lain. Marlena pun telah mengubah dirinya menjadi seorang gadis yang memiliki kemantapan berfikir realistis bila dibandingkan dengan pada waktu bersanding dengan Kamil dulu.
Dan kini di mata Kamil, kenyataan menjadi jelas bahwa akhirnya kekecewaan akan menimpa dirinya.
“Aku mengerti Lena, justru kali ini aku ingin menebusnya, meski apapun yang harus kulakukan,” ujar Kamil dengan suara sendu.
Marlena terharu.
Langit barat telah menyongsong matahari, hingga bulatan raksasa itu seakan menggelinding di balik bayangan warung itu. Marlena dan Kamil terasa dibelenggu oleh situasi sekitarnya, karena terlihat beberapa pembeli yang lain mulai berdatangan.
“Maaf, hampir sore. Aku pulang lebih dulu,” kata Marlena dengan suara agak menekan. Kemudian berlalu dari hadapan Kamil.
Kamil tidak menyahut. Hanya matanya dibebani oleh sejuta kunang-kunang mengaburkan pandangannya. Ia paksakan kedua mata Kamil mengikuti arah kepergian Marlena. Ada berkas luka membekas di hatinya, kini menganga kembali dalam geram dan dendam kecewa.
Setiba di rumah, hanya Fatimah yang tampak di hadapannya. Sedang Pak Toha dan Bu Rasmi sedang pergi menyambang family. Melihat kemuraman wajah Marlena, Fatimah segera menapaki dengan heran. Belum sempat Fatimah menanyakan sebab musababnya, tiba-tiba Marlena menubruk dan memeluk Fatimah dalam tangis sedih.
Fatimah membiarkan adik angkatnya itu menumpahkan segala beban hatinya. Hal ini sudah merupakan kebiasaan yang kerap dilakukan kedua wanita itu. Bagi Marlena, hanya Fatimah lah yang paling mengerti keadaan dirinya, sehingga tak heran segala rahasia yang ada pada diri Marlena akan tertumpahkan sepenuhnya pada kakak angkatnya itu.
Setelah suasana Marlena agak tenang, maka ia mengumpulkan semangat untuk melepaskan permasalahannya.
“Aku mengerti. Permasalahannya sekarang, kau harus tahu meletakkan diri pada porsi yang sebenarnya,” saran Fatimah setelah Marlena menceritakan peristiwa yang baru dialaminya.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan, Kak?”
“Sabar. Kita harus maklum. Pada dasarnya naluri manusia itu sama. Ia menghendaki sesuatu bila ia merasa kehilangan. Sedang Kamil sendiri juga tidak bisa disalahkan. Sebab, perkawinan kalian dulu didasari oleh ambisi orang tua. Meski demikian, tidak berarti seorang anak menerima dengan terpaksa. Apapun alasannya, manusia masih menyimpan jiwa kemanusiaan untuk menghargai manusia yang lain.”
“Maksud Kak Timah, aku harus kembali”.
“Tidak berarti begitu. Proses kehidupan manusia itu tidak statis seperti binatang. Manusia dinamis yang selalu dihadapkan dengan perkembangan emosi. Jadi bila Kamil akhirnya merasa iba dan kasihan padamu itu adalah proses perkembangan emosi yang wajar.”
“Bila demikian, bisa saja Kak Kamil masih mengharapkan kehadiranku.”
“Yah, bila didasari hati yang tulus. Namun sebaliknya, bila masih dihinggapi rasa dendam dan nafsu, maka bisa saja Kamil berbuat semena-mena, meski harus melalui jalan pintas.”
Ucapan terakhir Fatimah itu menimbulkan bulu kuduk Marlena merinding. Rasa khawatir mulai menggerayangi. Ia maklum, meski hanya beberapa saat. Marlena hanya mengenal watak Kamil yang sangat bertentangan dengan keadaan lingkungan keluarganya. Masih terbayang di pelupuk mata Marlena, betapa buas nafsu Kamil ketika memaksakan kehendaknya untuk menelanjangi dirinya, yang kala itu Marlena masih belum tahu persis apa arti hubungan suami istri layaknya, sehingga saat itu Marlena hanya mampu bertahan dalam tangis yang panjang.
Tiba-tiba tubuh Marlena gemetaran dan gamang. Ada rasa sesal menghadang di depannya. Seakan seribu serigala siap mencabik-cabik dan melahapnya habis bila ingat itu semua, lunglailah tubuh Marlena.
Fikiran buruk itu segera terhenti, bila ia ingat pesan almarhum ayahnya tadi malam: “Kau lahir bukan untuk dibelenggu oleh kehidupan sia-sia.” Tidak ….. tidak, aku harus harus bangkit, aku harus bangkit,” desak hati Marlena.
Percuma Marlena belajar kemantapan diri, bila ia gentar berhadapan manusia seperti Kamil, maka berarti tak ubahnya seperti pasrah dalam keadaan sia-sia.
Belum sempat pikiran Marlena menerawang lebih jauh, di ambang pintu Pak Toha dan Bu Rasmi muncul dengan ucapan salam. Fatimah dan Marlena segera membalasnya.
“Kok cepat ayah?” ujar Fatimah.
“Yah cuma urusan kecil,” jawab Pak Toha ringan. “Oh, iya Len, tadi gurumu datang ke sini.”
“Siapa Pak?”
“Taufik mungkin,” timpal Fatimah.
“Ah…..Kak Timah,” seru Marlena seraya mencubit lengan kakak angkatnya. Taufik kan bukan guru.”
“Eee….. ada apa ini? Aku ini omong serius lho,” ujar Pak Toha keheranan melihat kedua anak itu melantur.
Marlena tersudut.
“Nah kalau begitu pasti Pak Jamil,” sambung Fatimah cepat.
“Yah, Pak Jamil, begitu pengakuannya padaku,” sahut Pak Toha membenarkan
“Nah, apa kubilang?”
Aliran darah Marlena terasa terhenti seketika. Di dadanya palu-palu kecil, mematuk-matuk hingga jantungnya berdenyut keras, seakan merontokkan tulang belulang. Wajah Marlena nampak semu merah. Hal ini justru menjadi perhatian tiga pasang mata yang sempat menujum gelisahnya. Marlena tersadar.
“Perlu apa katanya, Yah?” tanya Marlena cepat-cepat.
“Paling-paling naksir kamu,” sahut Fatimah juga cepat.
“Heh, omong apa kamu ini Tim,” seru Bu Rasmi agak jengkel.
“Masak guru kunjung ke sini saja, dikira naksir.”
“Apa salahnya bu? Toh, Pak Jamil kan masih bujang, cakep lagi,” sahut Fatimah seenaknya seraya melirik Marlena.
Marlena merasa dipermainkan oleh kakak angkatnya itu, wajahnya nampak semakin memerah. Fatimah maklum, suasana seperti itu merupakan kesempatan terbaik untuk melipur duka adik angkatnya atau mungkin sebaliknya?
Umpan Fatimah ternyata merangsang batin Marlena. Ungkapan-ungkapan kakak angkatnya itu, di balik hati kecil Marlena menjadi isyarat tumbuhnya gejolak yang mungkin dapat dijadikan acuan untuk memacu keberadaan dirinya. Meski demikian, Marlena tetap berusaha untuk lebih mengerti kedudukannya selama ini. Setiap kali melangkah, harus diperhitungkan matang-matang untuk tidak sampai terulang kembali peristiwa sebagaimana pernah dialami pada masa lalu.
Penderitaan, kegagalan, dan kekecewaan bagi Marlena merupakan lecutan cambuk mendera untuk dijadikan pelajaran sekaligus pengalaman bagi masa depannya kelak. Ingat semua itu, bayangan lama muncul kembali. Bayangan wajah ibunya, yang nampak letih didera derita. Bayangan ayah kandungnya yang penuh semangat menenun hidup, meski harus kalah melawan kemiskinan, atau bayangan Haji Mastur, yang telah mendudukkan dirinya menjadi pesakitan, dan sekonyong-konyong bayangan wajah-wajah yang lain bermunculan satu persatu, seakan menyodorkan seribu nasib untuk dikunyah meski penuh tanda tanya.
“Inikah nasib yang akan kulabuh ayah?” seru Marlena dalam hati. “Tunjukilah jalanku yang benar, Tuhan,” Marlena masih diam. (*)