Hal itu termanifestasikan ketika masyarakat Madura merespon segala sesuatu yang sedang dihadapi, khususnya bentuk-bentuk perlakuan orang lain terhadap dirinya.
Munculnya peristiwa yang sempat mencuat kepermukaan nasional maupun internasional seperti terjadinya penembakan empat orang warga Nipah di Banyuates Sampang yang memprotes rencana pembangunan Waduk Nipah, proses pemilu 1997 yang harus diulang sebagai akibat terjadinya kecurangan, adanya rencana industrialisasi yang belum bisa diterima sepenuhnya ulama Madura adalah sedikit contoh dari sekian bentuk “perlawanan” masyarakat Madura.
Itu semua menunjukkan bahwa perlakuan yang dianggapnya tidak adil dan menyakitkan hati, secara spontan masyarakat Madura akan bereaksi. Sebaliknya, kalau ada perlakuan yang membuat hati senang, maka masyarakat Madura tanpa basa-basi secara terus terang akan mengungkapkan seketika itu juga.
Masyarakat Madura juga gigih memegang prinsip, meskipun dirinya harus berhadapan dengan ‘’moncong senapan.’’ Sebab, dalam kehidupan Madura ada satu falsafah yang sangat terkenal yaitu : lebih baik mati, daripada hidup menanggung malu. Dengan begitu konsep malo bukan hanya merupakan ungkapan malo (malu), akan tetapi menunjuk pada suatu kondisi psiko-kultural serta ekspresi reaktif yang secara spontan muncul akibat pengingkaran terhadap eksistensi diri, baik pada tingkatan individual maupun kolektif (keluarga, kampung, desa atau kesukuan).
Pernah suatu ketika seorang tokoh masyarakat ketika ditemui Radar Madura mengatakan, bahwa hanya persoalan peniti saja di Madura, bisa menjadi pertumpahan darah. ”Kalau sampeyan temukan peniti dan diambilnya tanpa memberitahukan terlebih dulu kepada pemiliknya, itu bisa menjadi persoalan besar,’’ ujarnya.
Dari ungkapan tersebut sudah jelas, bahwa secara psiko-kultural persoalan adhap asor (penuh keramah-tamahan, sopan dan hormat) menjadi sangat penting.
Seandainya ada suatu rencana mega proyek di Madura, dan itu tetap dilakukan dalam kerangka adhap asor dan tetap melibatkan para tokoh informal, tentu kejadian seperti kasus Nipah, pengulangan pemilu 1997 dan lain sebagainnya tak mungkin terjadi di Madura.
Tentu kajian-kajian kultural dan struktural masyarakat Madura yang sangat khas itu menarik untuk dijadikan obyek penelitian akademik. Mengapa justru masih sedikit dari peneliti kita untuk melakukannya. Bagaimana menurut anda!
Tuluasn bersambung:
- Madura dalam Gelombang Reformasi
- Masyarakat Madura Juga Gigih Memegang Prinsip
- Belajar Dari Kasus Nipah