Richard W. Brislin mendefinisikan prasangka sebagai sikap tidak adil, menyimpang atau tidak toleran terhadap sekelompok orang. Seperti juga stereotip, meskipun dapat positif atau negatif, prasangka umumnya bersifat negatif. Prasangka ini bermacam-macam, yang populer adalah prasangka rasial, prasangka kesukuan, prasangka gender, dan prasangka agama. Prasangka mungkin dirasakan atau dinyatakan. Prasangka mungkin diarahkan pada suatu kelompok secara keseluruhan, atau seseorang karena ia anggota kelompok tersebut. Prasangka membatasi orang-orang pada peran-peran stereotipik. Misalnya pada prasangka rasial-rasisme semata-mata didasarkan pada ras dan pada prasangka gender-seksisme pada gendernya.
Prasangka ialah apa yang ada dalam pemikiran kita terhadap individu dan kelompok lain seperti dalam hubungan ras dan etnis atau melalui media massa yang populer. Prasangka menjadi komunikasi antarbudaya karena biasanya ada pandangan negatif yang diiringi oleh adanya pemisahan yang tegas antara perasaan kelompokku (in group) dan perasaan kelompokmu (out group feeling). Oleh sebab itu komunikasi yang diawali oleh adanya prasangka tidak akan berjalan dengan efektif.
Ada tiga tipe tipe prasangka yang kita kenal, yakni:
- Prasangka kognitif, yakni prasangka yan berada pada ranah pemikiran, benar atau salah. Menurut kelompoknya terhadap kelompok lain.
- Prasangka afektif, yakni prasangka yang berada pada ranah perasaan, suka atau tidak suka.
- Prasangka konatif, yakni prasangka yang berada pada ranah perbuatan/perilaku/action. Pada ranah ini bila suatu kelompok tidak suka pada kelompok lain maka kelompok tersebut akan di deskrimninasi dan dijauhkan.
Brislin menyatakan bahwa prasangka itu mencakup hal-hal berikut : memandang kelompok lain lebih rendah, sifat memusuhi kelompok lain, bersikap ramah pada kelompok lain pada saat tertentu, namun menjaga jarak pada saat lain; berperilaku yang dibenci kelompok lain seperti terlambat padahal mereka menghargai ketepatan waktu. Ini berarti bahwa hingga derajat tertentu kita sebenarnya berprasangka terhadap suatu kelompok. Jadi kita tidak dapat tidak berprasangka.
Wujud prasangka yang nyata dan ekstrem adalah diskriminasi, yakni pembatasan atas peluang atau akses sekelompok orang terhadap sumber daya semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut seperti ras, suku, gender, pekerjaan dan sebagainya. Contohnya diskriminasi terhadap orang negro yang ada di amerika.
Prasangka dapat menghambat komunikasi. Oleh karena itu, orang-orang yang punya sedikit prasangka pun terhadap suatu kelompok yang berbeda tetap saja lebih suka berkomunikasi dengan orang-orang yang mirip dengan mereka karena interaksi demikian lebih meyenagkan daripada interaksi dengan orang tak dikenal. Ada beberapa contoh prasangka misalnya. orang Jepang kaku dan pekerja keras, orang Cina mata duitan, politikus itu penipu, wanita sebagai objek seks, dan lain-lain. Prasangka mungkin tidak didukung dengan data yang memadai dan akurat sehingga komunikasi yang terjalin bisa macet karena berlandaskan persepsi yang keliru, yang pada gilirannya membuat orang lain juga salah mempersepsi kita. Cara yang terbaik untuk mengurangi prasangka adalah dengan meningkatkan kontak dengan mereka dan mengenal mereka lebih baik, meskipun kadang cara ini tidak berhasil dalam semua situasi.
Media Massa dalam Membentuk Stereotip
Media massa merupakan alat yang digunakan untuk mela kukan komunikasi secara massa. Secara teoritis, Sobur (2006,112-114) mengatakan bahwa media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien. Pada praktiknya, apa yang disebut sebagai kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan. Berbagai persoalan idologis pada media muncul ketika apa yang disampaikan media (dunia representasi), dikaitkan dengan “kenyataan social” (dunia nyata), memunculkan berbagai problematika idiologis di dalam kehidupan social dan buadaya.