“saya mengetahui stereotip orang Madura dari media massa, berita-berita kekerasan yang terjadi di media kebanyakan pelakunya adalah orang Madura”
Bahwasanya dengan kekuatan yang dimilikinya, media massa bisa mengubah keadaan tersebut, yaitu mematahkan stereotip, antara lain dengan menghadirkan penggambaran yang lebih positif dibandingkan dengan penggambaran yang selama ini ada. Jadi sebenarnya orang Madura memiliki karakter dan sifat terbuka terhadap perubahan maka tidak heran jika Majalah Tempo berdasarkan riset pada tahun 1980 an pernah menempatkan suku Madura dalam lima besar yang paling sukses di Negara ini, hampir di tiap daerah bisa ditemukan “sate Madura” yang seolah menjadi trade mark orang Madura (Tempo Interaktif, 20 November 2011).
Tulisan bersambung:
Dalam konsep stereotip antaretnik digambarkan bahwa berko munikasi dengan orang yang berbeda etnik, orang tersebut cen derung menilai orang lain dengan standar nilai-nilai budaya yang dimilikinya, bukan berdasar nilai budaya orang yang dinilainya. Hal ini memperkuat teori etnosentrisme, bahwa setiap kelompok memiliki sikap etnosentris, dimana suatu kelompok merasa folkwaysnya lebih unggul daripada folways outgroupnya, kebudayaan sendiri dimutlakkan.
Pendapat Bovee dan Thill serta Andrea L.Rich bahwa etno sentirisme merupakan kecenderungan untuk menilai suatu kelom pok lain menurut standar, tingkah laku, dan tradisi kelompok sendiri serta memandang kelompok lain lebih rendah. Stereotip sangat mempengaruhi perilaku manusia, khususnya komunikasi antar etnik, karena stereotip menentukan bagaimana seseorang bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain yang berbeda etnik tersebut.
Sterotipe dibentuk oleh pengalaman antar etnik. Hal ini men dukung pendapat Andrea L.Rich (1974) bahwa stereotip tidak muncul dengan sendirinya melalui insting tetapi stereotip ada dalam kesadaran seseorang melalui pengalaman antar etnik. Penga laman tersebut diperoleh melalui berbagai cara, yaitu: (1). Melalui pengalaman pribadi setelah berinteraksi dengan orang yang ber beda etnik, berinteraksi dengan anggota ras, etnik, agama, atau kelompok sosial yang berbeda, (2). Melalui pengalaman dari “orang lain yang relevan” misalnya mempelajari bahasa, nilai-nilai dan sikap serta keyakinan dari anggota keluarga, guru dan sahabat yang memberikan informasi tentang etnik tertentu , (3). Pengalaman yang diperoleh dari media massa seperti surat kabar, majalah, film, radiao dan televisi yang memberikan gambaran tentang etnik.
Daftar Pustaka
- Mulyana, Deddy, 1999, Nuansa-Nuansa Komunikasi: meneropong Politik dan Budaya komunikasi Masyarakat Kontemporer, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
- Meleong, Lexy J, 2006, Metode Penelitain Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
- Kriyantoro, Rachmat, 2008, Riset komunikasi:Teknik Praktis, Jakarta: Prenada Media Group
- Nadjib, E.A, 2005, Folkore Madura, Yogyakarta; Progressin,
- Rakhmat, Jalaluddin, 2005, Psikologi Komunikasi, Bandung; PT. Remaja Rosdakarya
- Rich,Andrea L, 1974, Interacial Communication, Herper & Row Publishers, New York
- Rifai, Mien Ahmad, 2007, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, Dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya, Yogyakarta, Pilar Media
- Wiyata, Abdul Latif, 2006, Carok; Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta, Lkis
Sumber: “MADURA: Masyarakat, Budaya, Media, dan Politik”, Penerbit: Puskakom Publik bekerjasama dengan Penerbit Elmatera 2015 (versi pdf)
Tulisan bersambung: