Penjor dan Gapura
Dusun Bongso Wetan tampak tak berbeda dibanding desa-desa lain di Gresik Selatan. Mayoritas warganya adalah petani. Selain padi, tanaman pare menjadi produk andalan dusun ini. Dilihat dari rumah penduduknya, dusun ini tergolong cukup sejahtera. Mayoritas rumah warga berdinding tembok, bahkan banyak pula yang dilapis keramik aneka motif. Model bangunannya pun banyak yang mengadopsi gaya Eropa dengan banyak pilar dan balkon. Di beberapa rumah bukan hanya tersimpan sepeda motor, namun juga mobil, dari truk pikup hingga kelas jeep. Sedikit saja rumah yang masih berdinding kayu, apalagi gedhek (anyaman bambu).
Sekilas, rumah-rumah warga tampak sama. Namun bila diperhatikan lebih seksama, ada ciri khas yang tak mudah dikenali. Ya, sebagian rumah memiliki pagar, gerbang, atau dinding yang dihiasi gapura. Ada yang sekadar motif, ada pula yang mewujud dalam bentuk gapura atau candi mini. Nah, di rumah-rumah dengan ciri itulah 223 kepala keluarga (KK) atau sekitar 800 jiwa pemeluk Hindu tinggal. Tepatnya, pemeluk Hindu beretnis Madura.
Di pojok-pojok rumah mereka terdapat sudut persembahyangan. “Kami yang menganut Hindu ini mencapai 50 persen dari total penduduk Dusun Bongso Wetan, sedangkan 50 persen lainnya Muslim,“ kata Saptono.
Selain di Bongso Wetan, Etnis Madura juga tinggal di Dusun Pengalangan dan Sumur Geger. Hanya saja, warga Madura di kedua dusun itu hampir semuanya Muslim. Sementara 3 dusun lain di Desa Pengalangan, yakni Dusun Bongso Kulon, Dukuh, dan Songgat semuanya didiami Etnis Jawa. Di hari-hari besar Hindu, rumah warga di Dusun Bongso Wetan dipercantik dengan penjor, canangsari, dan sanggar cucuk.
Penjor, tiang bambu berhias ukiran dari janur, melambangkan ketinggian Gunung Mahameru. “Itu simbol keagungan Tuhan,“ kata Saptono. Sementara canangsari, wadah dari janur berisi persembahan seperti buah, bunga, air dan dupa, adalah perlambang rasa syukur. “Sanggar cucuk adalah anyaman janur berbentuk rumah. Di sanalah kami letakkan canangsari atau persembahan kami,“ katanya.
Bukan hanya rumah yang kian meriah, pura pun makin ramai di hari-hari besar Hindu. “Di hari biasa, kami sembahyang ke pura 3 kali sehari, yakni pagi, siang, dan petang. Itu dilakukan sendiri-sendiri atau sekeluarga. Namun sembahyang saat hari raya, misalnya Nyepi, umat melakukannya bersama-sama hingga meriah,“ kata Saptono.
Dusun Bongso Wetan adalah dusun unik. Di sini, warga Hindu Etnis Madura hidup dalam kerukunan dengan warga Muslim. Mereka meyakini bahwa keyakinan, ritual, hingga tradisi mereka sama saja dengan Islam, hanya memiliki variasi pada bentuk.
Tawur Agung, ritual penghancuran makhluk jahat menjelang pelaksanaan catur brata penyepian, dianggap Pemangku Saptono sama dengan takbiran dalam konteks masyarakat Muslim. Pemangku adalah modin untuk umat Hindu. Tawur agung dilaksanakan menjelang hari raya, yakni Nyepi. Inti tawur agung ada dua, yakni pembakaran ogoh-ogoh yang melambangkan kekuatan jahat di dunia, serta mengagungkan Tuhan. “Sama dengan takbiran, kan?” kata Saptono.
Hari setelah pelaksanaan tawur agung adalah Nyepi atau peringatan tahun baru Saka. Sejak kamis subuh pukul 05.00 warga Hindu berpuasa dan baru berbuka pada keesokan harinya. Puasa ini disebut catur brata penyepian (empat puasa nyepi). Keempat puasa itu adalah amati geni (tidak menyalakan lampu dan alat penerangan lain), amati karya (tidak bekerja dan aktivitas lain), amati lelungan (tidak bepergian), serta amati lelanguan (menghindari suara, termasuk radio dan televisi). “Tentu masih ada dispensasi. Mereka yang punya balita dan menangis kalau gelap, misalnya, tetap boleh menyalakan lampu. Hanya kalau biasanya memakai lampu listrik yang terang, khusus untuk Nyepi diganti lambu kecil saja,“ kata Saptono.
Setelah puasa 24 jam penuh, pada Jumat pagi, warga Hindu berbuka. Dusun Bongso Wetan dan Bongso Kulon kembali meriah. Warga Hindu di kedua dusun berpesta ngebak geni yang secara harfiah berarti “menyalakan kembali api“. Setelah bersembahyang di pura, warga Hindu terlibat dalam kemeriahan seperti umat Islam kala Idul Fitri: bersalaman dan makan-makan.
“Kami tidak hanya berkeliling dengan sesama Hindu, namun juga dengan para tetangga yang Muslim. Saat Idul Fitri, tetangga kami yang Muslim juga merayakannya dengan kami,“ kata Saptono. “Tak ada perselisihan karena agama di sini,“ lanjutnya, gembira.
weh… di madura juga ada yaa..
Yang rukun saja
Mohon maaf sebelumnya, kita umat hindu berbuat baik tujuannya bukan mencari surga tetapi MOKSA, hidup kembali ke dunia ini adalah dalam misi perbaikan apa yang telah kita perbuat terdahulu.
Ya kita memahami, ini masalah persaudaraan antar umat beragama
Saya orang Bali, Menjadi Hindu tidak harus mahal, jangan tiru di bali karena memang mereka kreatif dan berkemampuan. Bukan karena kemewahan ritual orang dapat sorga, tetapi baik atau buruknya perbuatan kita yang menentukan diri dan perjalanan roh kita menuju sorga atau neraka. Menurut Weda, Tuhan ada dimana-mana meresap disemua relung ruang dan waktu ciptaan-Nya (wiyapi wyapaka), maka sorga dan neraka ada dimana-mana baik di dunia tempat kita hidup ini maupun di akhirat alam maya. Untuk mencapai sorga tidak perlu naik ini naik itu sebagai syarat, cukup dengan berbuat sebaik-baiknya terhadap sesama, alam lingkungan sekitar, dan rajin berdoa kepada Tuhan, sudah pasti di dunia ini pun kebahagiaan hidup (sorga) sudah kita nikmati, jangan berbuat buruk misalnya mencuri ketahuan ditangkap maka neraka (penjara) kita jumpai. dan yang penting kita memiliki 5 keyakinan (panca sradha) yaitu percaya adanya Tuhan, Atma, Punarbawa, Karmaphala, Moksa.
Semua ajaran agama untuk menuju kebaikan, dengan sangsi bila melanggar akan dapat akibatnya (neraka), bila melaksanakan dengan benar akan dapat (surga). Dalam tulisan diatas merupakan catatan peristiwa yang perlu dikenal dan dipahami semua pihak, tanpa mempengaruhi nilai ritualitas keagamaannya.