Tetap Mengaku Madura
Bila identitas kehinduan masih melekat kuat, tidak demikian dengan identitas kesukuan mereka. Saptono memang menyebut dirinya Madura. Namun, ia tidak terlalu memusingkan saat anak-anaknya tidak lagi fasih berbahasa Madura. Bagi Saptono, itu sekadar konsekuensi dinamika zaman. “Mereka menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa di sekolah mjaupun dalam pergaulan sehari-hari,“ kata Saptono. “Karena itu kemampuan berbahasa Madura mereka tak lagi bagus,“ lanjutnya.Hal itu diakui Purwandi dan adiknya, dua anak Saptono. “Untuk bicara dalam Bahasa Madura memang sulit. Namun kami tetap bisa memahaminya,“ katanya dalam Bahasa Jawa.
Samiun, seorang pemuda Madura Dusun Bongso Wetan, juga terbata-bata bicara dalam Bahasa Madura. Pemuda yang ditemui bermain suling di kompleks Pura Kertha Bumi ini bahkan seringkali terdiam saat diajak berkomunikasi dalam Bahasa Madura.“Ada sebagian yang saya tidak paham,“ katanya.
Identitas kemaduraan lebih banyak bertahan dalam bentuk pakaian adat. Baju gombor hitam dan kaos lorek putih-merah masih kerap mereka pakai dalam perayaan keagamaan. Saat peringatan melasti dan pawai ogoh-ogoh di Tugu Pahlawan, dua hari lalu, misalnya, mereka memakai pakaian tradisional Madura tersebut. Melasti adalah ritual pembersihan alat-alat di pura. Air bekas penyucian alat-alat pura ini kemudian dilarung di laut sebagai perlambang dibuangnya hal-hal kotor dari dalam diri kita.
Bisa jadi longgarnya identitas kemaduraan ini karena komunitas Madura di Bongso Wetan tidak lagi memiliki keluarga di Pulau Madura.
“Nenek moyang kami memang orang Madura. Namun jangan tanya kami bagaimana sejarahnya mereka bisa sampai di sini. Saya tidak tahu. Orang-orang tua sebelum saya pun tidak tahu,” kata Saptono. Yang jelas, Saptono dan warga Madura lain di Bongso Wetan tak lagi memiliki keluarga di Pulau Madura. Mereka tidak lagi toron (mudik) ke pulau garam itu. “Kalau pun ada yang memiliki kerabat di Pulau Madura, itu adalah hasil perkawinan, bukan nasab langsung,” ujar lelaki 52 tahun ini.
Ternyata, bukan hanya dalam hal identitas kesukuan mereka longgar. Dalam hal keagamaan pun mereka tidak terlalu fanatik. Menurut Saptono, penduduk penganut Hindu dan Muslim saling menghormati. Mereka tidak memaksa anak-anak untuk ikut agama mereka. “Kami ikut saja apa maunya anak-anak. Mereka ingin tetap Hindu, boleh. Ingin menikah dengan yang Muslim atau berganti agama menjadi Islam pun terserah,” katanya. (*)
sumber:
weh… di madura juga ada yaa..
Yang rukun saja
Mohon maaf sebelumnya, kita umat hindu berbuat baik tujuannya bukan mencari surga tetapi MOKSA, hidup kembali ke dunia ini adalah dalam misi perbaikan apa yang telah kita perbuat terdahulu.
Ya kita memahami, ini masalah persaudaraan antar umat beragama
Saya orang Bali, Menjadi Hindu tidak harus mahal, jangan tiru di bali karena memang mereka kreatif dan berkemampuan. Bukan karena kemewahan ritual orang dapat sorga, tetapi baik atau buruknya perbuatan kita yang menentukan diri dan perjalanan roh kita menuju sorga atau neraka. Menurut Weda, Tuhan ada dimana-mana meresap disemua relung ruang dan waktu ciptaan-Nya (wiyapi wyapaka), maka sorga dan neraka ada dimana-mana baik di dunia tempat kita hidup ini maupun di akhirat alam maya. Untuk mencapai sorga tidak perlu naik ini naik itu sebagai syarat, cukup dengan berbuat sebaik-baiknya terhadap sesama, alam lingkungan sekitar, dan rajin berdoa kepada Tuhan, sudah pasti di dunia ini pun kebahagiaan hidup (sorga) sudah kita nikmati, jangan berbuat buruk misalnya mencuri ketahuan ditangkap maka neraka (penjara) kita jumpai. dan yang penting kita memiliki 5 keyakinan (panca sradha) yaitu percaya adanya Tuhan, Atma, Punarbawa, Karmaphala, Moksa.
Semua ajaran agama untuk menuju kebaikan, dengan sangsi bila melanggar akan dapat akibatnya (neraka), bila melaksanakan dengan benar akan dapat (surga). Dalam tulisan diatas merupakan catatan peristiwa yang perlu dikenal dan dipahami semua pihak, tanpa mempengaruhi nilai ritualitas keagamaannya.