Di kabupaten Sampang, ada daerah bernama Ketapang; suatu daerah yang terletak paling utara kabupaten Sampang. Udara yang panas dan ekspresi wajah masyarakatnya yang (bisa dikatakan) kurang bersahabat, seakan menjadi representasi kebudayaan yang ada di daerah itu. Konon, budaya (mengenakan) celurit di sana sangat penting. Betapa tidak, jika ada orang yang sedang berjalan di waktu malam, maka harus membawa celurit. Jika tidak, orang itu dianggap angkuh oleh masyarakat sekitar, sehingga kemungkinan besar, dalam perjalanannya, orang itu tidak akan selamat alias celaka.
Dari gambaran ini, celurit menjadi penting untuk dikuak kembali. Sebab, mayoritas masyarakat terlanjur menganggap bahwa celurit diidentikkan dengan budaya keras dan menyeramkan. Bahkan parahnya, ini mengerucut pada kebudayaan masyarakat Madura. Bisa jadi, begitu mendengar kata Madura, di situlah tergambar sebuah senjata melengkung yang disebut “celurit”. Terlebih karena masyarakat memandang bahwa celurit diidentikkan dengan “carok”. Sehingga penting untuk merekonstruksi pemikiran yang bisa disebut “kiri” itu.
Pada tataran sejarahnya, tidak ada yang tahu asal-usul munculnya nama celurit hingga dikenal luas sampai detik ini. Hanya saja, di tempat asalnya (Madura), ada sebuah pisau yang bernama “Arit” yang dipakai oleh petani untuk menyabit rumput di sawah atau ladang dan membuat pagar di rumah. Tetapi pada perkembangannya, arit itu digunakan sebagai alat utuk berlatih beladiri yang kemudian dijadikan senjata oleh rakyat jelata ketika menghadapi musuh.
Di Madura, banyak perguruan pancak silat yang menggunakan celurit untuk berlatih beladiri. Sebab, celurit mempunyai makna filosofis dan penting untuk diaktualisasikan kembali melalui penegasan makna dan nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat Madura secara umum.