Dari perspektif gramatikal kata Suramadu jelas mengandung suatu makna relasional antara subyek dan obyek. Sura(baya) sebagai subyek, sedangkan Madu(ra) sebagai obyek. Surabaya sebagai subyek disadari atau tidak harus ditempatkan sebagai wilayah pusat, sedangkan Madura pada posisi sebagai wilayah pinggiran.
Berbagai kajian terhadap pengalaman di berbagai negara (baik di tingkat global, nasional, regional maupun lokal), hubungan relasional dalam perspektif dependensia selalu menguntungkan pihak pusat. Sebaliknya wilayah pinggiran tidak pernah mengalami kemajuan apa pun.
Ada ungkapan menarik dari Bupati Bangkalan KH Fuad Amin Imron yang diamini oleh Bupati Pamekasan Ahmad Syafi’i. “Hasil proyek Suramadu harus bisa dirasakan seluruh warga Madura. Jangan sampai warga Madura hanya menjadi penonton” (Kompas, 20/11/2006).
Harapan kedua Bupati ini beralasan. Secara ekonomi masyarakat Madura masih tertinggal dibandingkan dengan kabupaten/kota di Jawa Timur. Keadaan tersebut karena infrastruktur pembangunan kurang mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.
Sudah lama masyarakat di Madura diasosiasikan dengan atribut kemiskinan dan ketertinggalan. Hal itu akibat kondisi alam Madura yang gersang dan tandus sehingga daya dukung alam, khususnya sektor pertanian, terhadap penduduk tidak memadai. Tak heran banyak penduduk Madura merantau ke luar untuk mencari sumber-sumber ekonomi.
Data menunjukkan laju pertumbuhan pembangunan Madura lebih lambat dari rata-rata kabupaten lain di Jatim. Nilai pendapatan domestik regional bruto Madura tahun 2002 adalah Rp 8,2 triliun. Padahal, Pulau Madura mempunyai potensi lokal seperti tembakau, garam serta potensi perikanan.
Selamat malam, Kak… Nama saya Fitria. Saya mahasiswi fakultas psikologi salah satu universitas di Jakarta. Says sangat tertarik den gan artikel yang kakak buat ini. Apabila saya ingin berdiskusi lebih lnjut dengan kakak, bolehkah saya me minta alamat email kakak yang da pat dihubungi? Terimakasih sebelumnya.
syafanton@gmail.com dan atau ikuti: https://www.facebook.com/syafanton