“Maka tak heran, gerak dan gestur yang dikembangkan disini menyerupai atau mengadopsi dari gerak-gerak yang dilakukan petani garam saat menggarap lahan pegaraman. Lompatan kaki, gerak tangan maupun gestur tubuh menyerupai orang sedang mengolah garam di ladang garam,” simpul Darus.
Lompatan kaki, gerak tangan dan lainnya ketika sedang mengolah garam disimbolkan dalam gerak-gerak para pelaku topeng ketika tampil dalam pertunjukan. Dari Pinggir Papas ini kemudian berkembang ke wilayah Kalianget, dengan tetap mengacu pada gerakan yang dibangun oleh Tearjâ Nimprang.
Pada proses selanjutnya, pertunjukan topeng berekspansi ke wilayah utara, yakni di pesisir utara Kecamatan Dasuk, yakni desa Salopeng dan sekitarnya. Di daerah ini permainan topeng mengalami perubahan sesuai dengan tipografi masyarakatnya. Bila di Pinggir Papas mengacu pada gerakan keraton (sebagai latar kehidupan Tearjâ Nimprang) sedang ketika memasuki Dasuk sebagai wilayah pesisir dan pedesaan, gerakan berubah lebih dinamis sebagaimana gerakan sistem kehidupan masyarakatnya, yakni gerakan yang dilakukan masyarakat ketika bekerja di ladang atau tegalan.
“Hal ini tampak jelas perbedaannya, termasuk pada karakter bahasa pengucapan. Di Pinggir Papas menggunakan bahasa pengucapan kekeratonan, sedang di Dasuk menggunakan ungkapan dan karekter pedesaan (kerakyatan) yang cenderung agak “kasar” dan ceplas ceplos,” jelasnya.
Darus mencontohkan, misal ketika mengungkapkan kekesalan dengan marah. “korang ajhar pada ban tekos” (kurang ajar seperti tikus}, atau “ma’ ta’ bhângka noro’ tamonèna” (kok gak mati bersama ari-arinya). Nah, sedang bahasa ungkapan di Pinggir Papas jauh lebih samar dan halus. “Ini terasa seperti yang diungkapkan pada kalangan bangsawan”.
Demikian pula dalam segi busana, juga mengalami perbedaan. Karena topeng awalnya mengadopsi dari wayang purwo, hal ini terasa apa yang diperankan karakter topeng di Pinggir Papas. ”Yang di Pinggir Papas tokopnya (topengnya) yang dipakai adalah tokop model berkarakter wayang porwo (simbol wayang purwo). Jadi tidak berbentuk manusia, baik bentuk siung, hidung dan lainnya,” tambahnya.
Setelah menggeser ke Kalianget, karakter tokop sudah mulai berubah dalam bentuk wajah manusia. Demikian pula cerita yang disajikan, banyak mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat penikmatnya. Apalagi di Salopeng?, perubahan itu makin menguat sesuai karakter lingkungannya. “Jadi perubahan itu makin indah,” katanya.
“Pendapat saya, secara fisik topeng yang asli cenderung yang Pinggir Papas, meski selama ini masing-masing kelompok (Pinggir Papas, Kalianget dan Salopeng) sama-sama mengklaim merasa paling awal,” ungkapnya.
Namun demikian, dalam tata busana hampir tidak ada perbedaan, mengalami perubahan sesuai keinginan masing-masing.
Perbedaan itu terasa sekali pada warna busana. Di Salopeng simbol warna mengarah pada busana karakter masyarakat pedesaan, dominan warna hitam dan merah. Demikian pula bentuk dan ornamen rapeknya (semacam sarung pendek melingkar di pinggul) menggambarkan bentuk perisai, (acok rebbhung). Sedang di Kalianget bentuknya rata, sepebagaimana rapek Jawa.
Sedang ornamen lukisan yang dimunculkan di Pinggir Papas dan Kalianget penggambarannya yakni flora dan fauna, seperti alam, harimau, burung dsb. “Tapi di Dasuk menonjolkan lusian pegunungan, laut dan sejenisnya. Demikian pula pada mahkotanya,di Kalianget dalam bentuk sebagaimana yang dikenakan pada wayang kulit (porno), model lebih tinggi, sedang di Dasuk tampak berbeda, yakni lebih pendek.
“Saya berharap perbedaan ini, masing-masing agar di tetapkan, karena disinilah nilai keunikan yang menambah keragaman dalam seni topeng,” tegas Darus.
Beda dengan Kalianget dan Salopeng, di Pinggir Papas, menurut Darus, topeng di Pinggir Papas pernah mengalami kejayaannya, namun lambat laun perkembangannya makin melemah, hal ini lantaran para pelaku topeng sendiri umumnya dari pekerja ladang garam.
Sangat membantu