Contoh :
Serna
Paesan pote atabur babur
Serep. Terep. Nangeng
Enger neng e sokma
Aba’ tagiyur engerra sokma
Kadharuy atemmowa salerana
Sapangedep adulit. ka edep
Pas aonyar ngombar e mata
Nangeng sakabbinna la serna
Kare paesan pote atabur babur
Serep. Terep
Ekembari nyredhemma. campaka molja.
(Arach Jamali)
7. Hal lain berkaitan dengan bangsalan, bak-tebbagan, sendelan dan lainnya merupakan karya sastra yang masih bertahan di Madura, khususnya di kalangan masyarakat tradisional.
Selain tersebut dalam bentuk sastra tulis, sastra lisan cukup akrab dalam kehidupan masyarakat Madura, usianyapun cukup tua. dan tidak dikenal pengarangnya (anonim), semisal syair Dhi’-nondhi’ ne’nang:, dongeng. lok-alok. atau, dalam bentuk puisi mainan anak-anak seperti Pa’kopak Eling, Jan-anjin, Cong-Koncong Konce, Teng-nyalateng, Ma-dalima ngoda, Ri-riri kolek dan lainnya.
Selain tersebut dalam sastra lisan. Madura dikenal puisi ritual yang biasanya digunakan untuk memohon hujan, selamatan laut, menolak bala dan kepentingan lainnya dalam upacara pantil, cahhe’, ratep dan pojiyan.
Menggali Puing-Puing Yang Tersisa
Tergesernya sastra Madura dalam kehidupan masyarakat Madura memang disebabkan oleh beberapa faktor, yang berkaitan dengan proses pembangunan. Namun demikian sebenarnya pembangunan itu tidak mesti menjadikan sastra daerah (Madura). harus tergeser. Justru sebaliknya menjadikan kehidupan ini khas apabila sastra di tengah-tengah pembangunan.
Sejalan dengan lajunya pembangunan di berbagai sektor, maka sarana dan fasilitas yang dibutuhkan manusia makin meningkat, termasuk akan kebutuhan hiburan. Berbagai ragam jenis hiburan yang menawarkan ragam jenis seperti, televisi, radio, vcd, plays station atau jenis hiburan elektronik lainnya sehingga mampu menggagalkan minat terhadap karya sastra sendiri. Hal semacam cukup kuat merambah ke seantero pelosok Madura.
Berdasarkan berbagai kekhawatiran akan punahnya sastra Madura diantara gemerlapnya seni-seni yang lain yang berbau dan dikemas secara modern, sebenarnya di suatu sudut masih terdengar suara-suara sastra Madura meski tidak terdengar gaungnya. Paling tidak, beberapa pihak mencoba mempertahankan dan melestarikannya, namun sejauh ini belum memberikan suatu kekuatan sehingga sastra Madura benar-benar dimiliki oleh masyarakat Madura.
Di daerah Sumenep misalnya, gerakan sosialisasi bahasa dan sastra Madura telah sedemikian gencar dilakukan, paling tidak oleh Tim Nabara. Namun sayang, dari mereka rata-rata telah lansia, maka gerakan yang dimiliki hanya sebatas menunggu “petuah” dari lembaga induknya. Dan pada gilirannya kehidupan sastra Madura masih berkisar dalam batas lingkaran kecil. Sedang sastrawan diluarnya lebih asyik memperbincangkan perkembangan sastra Indonesia modern yang “konon” lebih menjanjikan daripada mempertahankan “tradisi” sastra daerah nya sendiri.