Naturalisasi Perajin Batik
Garam dan hasil laut merupakan suatu budi daya yang menarik perhatian secara asosiatif-kultural, untuk menanggapi kilasan dan organisasi penduduk di balik sumber daya manusia yang masih tersembunyi, seperti kerajinan batik, sebagai etos kerja yang kreatif pada karakteristik yang lebih tinggi.
Meski, menempati posisi latar historis yang tak terlalu panjang, karena perkembangan batik di sini tidak memiliki hubungan etimologi-etnografis dengan proses peradaban dan kebudayaan yang ada sebelumnya, beda dengan batik Jawa Tengah dan Jogjakarta yang dilatari nilai hirarkis keraton, sehingga ada inovasi terhadap pengembangan orientasi.
Namun, corak dan motifnya tak kalah unik dibandingkan dengan batik daerah lain. Ada pola yang lebih bebas tanpa terikat letak dan tata rias yang sudah lama berlangsung, ciri naturalistik dan ragam corak alamiah membuat warna-warna yang lebih cerah dan agung memikat.
Seorang perajin justru lebih banyak terilhami letak geografis alam, suasana sejuk, dan pesona pantai pesisir yang kemilau, sehingga mereka lebih banyak mengandalkan pewarna alami yang beragam, serta simbol-simbol dan artefak kebudayaan berupa tombak, bedah ketupat, rajut, bahkan sering dijumpai aneka fauna dan flora yang mendasari kehidupan mereka sehari-hari.
Pengejawantahan seni rupa ini diproduksi lebih banyak oleh kalangan perempuan yang berindustri sebagai rumah tangga, yang biasanya mereka berjualan atau menjual di pasar-pasar dengan harga yang agak lumayan besar.
Karena pola karya ini dikerjakan dengan kombinasi warna yang beragam dan daya kerja sulit yang cukup tinggi. Tidak kalah dengan kerajinan seni ukir kayu, berupa lemari, tempat tidur, kotak perhiasan, juga seni memahat perahu dan topeng wayang.
Meski kegiatan berkarya kebanyakan hanya didesain untuk pemesanan dari pembeli, akan tetapi kompetisi sosial menjadi basis untuk menjamin keberlangsungan dan pembinaan kerja yang lambat laun bersaing dengan hasil kerajinan lain.
Di samping pelajaran peribahasa ”belajar sepanjang hayat” telah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari dan menunjukkan regenerasi yang sangat tulus dan patut dikagumi dalam memandang persoalan kebutuhan hidup.
Karena belajar bagi mereka tidak mesti selalu menutut ilmu, adakalanya memperbanyak pengalaman dan meluaskan wawasan karya, meski hanya dengan buah perenungan. Sebab, masi ada banyak bahtera untuk menopang pengetahuan yang lebih mandiri dengan belajar autodidak untuk membuka cakrawala keilmuan.
Begitulah rasanya refleksi yang dimaksud dari belajar sepanjang hayat (hidup) orang Madura. Meski disadari, usaha menuntut ilmu dan pengalaman hidup sendiri merupakan pekerjaan yang tak mudah. Sehingga harus benar-benar gigih dan berani berkorban tanpa pamrih, tanpa banyak perhitungan dan tuntutan yang bisa menghapus keikhlasan berjuang dan kesukarelaan.
Salbut City, 14 Desember 2012.
*. A’yat Khalili, salah satu pewarta Harian Online Kabar Indonesia (HOKI) Jakarta, dan Prosesor Pusat Buku & Dokumentasi Roma Maca.
disalin dari: Jawa Pos Radar Madura (http://radarmadura.co.id, 11/2013)