Oleh : Kadarisman Sastrodiwirjo
Kebudayaan
Kebudayaan adalah seperangkat totalitas buah pikiran, perilaku dan hasil karya manusia yang dicapai melalui proses pembelajaran. Menurut Koentjaraningrat (1992) wujud kebudayaan ada tiga macam.
Pertama, kompleks ide yang abstrak berupa nilai, norma atau gagasan yang disebut adat istiadat. Kedua, kompleks kelakuan yang berpola atau disebut sistem sosial. Ketiga, berwujud fisik yaitu benda-benda hasil karya manusia.
Sedang isi kebudayaan dapat dikelompokkan menjadi tujuh macam berupa: 1) Sistem religi dan upacara keagamaan; 2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan; 3) Sistem pengetahuan; 4) Bahasa; 5) Kesenian; 6) Sistem mata pencaharian hidup; 7) Sistem teknologi dan peralatan.
Unsur budaya yang paling menonjol sehingga bisa jadi penanda sebuah etnis atau menjadi pembeda antara etnis satu dengan lainnya adalah Bahasa dan Kesenian. Kedua unsur budaya ini paling rentan dan mudah berubah dalam persinggungan antar budaya, baik melalui proses asimilasi, akulturasi maupun dominasi. Karena itu kalau kita berbicara tentang pengembangan budaya, kepada dua unsur inilah pembahasan difokuskan.
Istilah pengembangan, mencakup berbagai kegiatan. Sebagian berupa kegiatan pelestarian baik yang berupa revitalisasi, re-interpretasi atau redefinisi, dan sebagian lagi berupa menumbuhkan nilai-nilai baru yang positip.
Ada nilai-nilai lama yang baik dan masih sesuai dengan kemajuan zaman sehingga perlu dibangun kembali, atau diberi penafsiran baru. Sebaliknya ada juga nilai-nilai yang perlu dibiarkan aus karena memang tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Budaya Madura
Menurut Wiyata (2006), nilai-nilai sosial sebuah budaya bersifat lokal dan kontekstual sesuai dengan kondisi dan karakteristik masyarakat pendukungnya. Sejalan dengan itu, kalau bicara tentang budaya Madura, maka yang mengemuka adalah perpaduan antara masyarakat yang religius dengan lingkungan alam yang keras dan tandus, yang melahirkan manusia yang ulet, pekerja keras dan tangguh.
Kuntowijoyo (2002) mengatakan bahwa budaya Madura berbasis tanah tegal dan perubahan sosial yang terjadi bersifat “unik” dalam arti perubahan sosial masyarakat Madura tidak mengikuti kecenderungan umum. Hal ini terlihat dalam pola pemukiman asli masyarakat Madura yang dikenal dengan “Taneyan Lanjhang dan Kampong Mejhi”.
Bahwa orang Madura kental dengan nilai keislaman, nampak dalam kehidupan keseharian mereka dan pada karakter masyarakat yang religius, santun, berkeadaban, dan santun.
Nilai-nilai yang mereka pegang tergambar dalam ungkapan “Abhantal omba’ asapo’ angen, abhantal syadhad asapo’ iman, pajung Allah, sandhing Nabbhi”. Jiwa kesantunan tercermin dari ajaran “Andhap Asor”. Jiwa kebersamaan terlihat dari masih berkembangnya tradisi “Song-osong Lombhung, Kaajhaghan” dan lain-lain.
Namun demikian orang Madura menghadapi kendala yaitu munculnya “stereotype” atau citra jelek tentang orang Madura, sehingga orang luar atau etnis lain mengidentikkan orang Madura dengan watak sangar, keras, mudah menghunus senjata, suka memaksakan kehendak (Giring, 2004). Citra menurut Sontag dan juga Boulding, sesungguhnya merupakan sebuah ilusi atau bayangan, salinan bukan asli, representation bukan reality.
Akan tetapi susahnya, citra jelek tentang orang Madura yang berkembang sejak jaman penjajahan, sampai sekarang sulit untuk dihapus. Sedihnya lagi, citra jelek ini justru “tercerna” oleh orang Madura sendiri, utamanya kaum intelektual yang berada di luar Madura.
Mereka tidak bangga bahkan malu mengaku sebagai orang Madura, dan enggan mempergunakan bahasa Madura. Sikap seperti ini mengancam keberlangsungan hidup bahasa dan kesenian Madura.
Selain itu, orang Madura sangat adaptif terhadap perubahan, sehingga terkesan bahwa orang Madura “tidak setia” terhadap budayanya. Contoh yang konkrit, dalam hal arsitektur rumah tradisional.
Sekarang ini di seluruh Madura sangat sulit mencari prototipe rumah tradisional Madura. Beda misalnya dengan orang Minang, Bali, Lombok, Toraja atau Bugis.
(bersambung: Pelestarian dan Pengembangan Budaya Madura)