Musik Glundhângan sebagai Medium Komunikasi

Satu Set Tabbhhuwân Glundhângan di Desa Soca Pangepok Foto: Hidayatullah (2018)

Dalam tradisi dhârâ ghettakan, musik merupakan media yang integral dan turut menjadi bagian penting dalam pelbagai momen dan peris- tiwa. Ada banyak jenis dan penamaan musik yang berkaitan dengan tradisi dhârâ ghettakan, tetapi istilah yang paling umum adalah musik glundhângan. Secara instrumentasi, Munardi (dalam Bouvier, 2002, 54) mencatat.

Pada prinsipnya, glundhâng merupakan perangkat gamelan juga, hanya bahan instrumennya bukan logam melainkan hampir selu- ruhnya terbuat dari kayu dan bambu. Bilah-bilah ataupun pencon digantikan dengan bilah-bilah kayu. Jadi, serupa dengan kolintang. Untuk kendangnya dibuat alat berupa kentongan, yaitu batang kayu yang pendek diberi rongga dan mulut pada sisinya. Alat itu dinamakan dhuk-dhuk atau thuk-thuk.

Di Pulau Madura, ensambel dengan jenis gamelan kayu seperti glundhângan memiliki banyak penamaan, di antaranya okol, yaitu ensambel gamelan kayu yang terdiri dari instrumen musik tong-tong (kentongan kayu), ghambhâng (sejenis gambang), simbal kecil, dan suling. Orkes okol biasa dimainkan dalam acara pertarungan kèkèt atau okol (sejenis gulat) dan ojhung (pertarungan dengan mengguna- kan rotan). Orkes okol juga biasa digunakan untuk mengiringi acara perlombaan merpati (Bouvier, 2002, 50).

Selain okol, juga ada penamaan lain untuk jenis musik gamelan kayu yang menyerupai dengan glundhângan, yakni ghul-ghul, sebuah ensambel gamelan kayu yang terdiri dari tong-tong (kentongan kayu), saronen, ghambhâng (gambang), suling, kerca, dan peking. Secara fungsi, ensambel ghul-ghul memiliki kesamaan dengan musik glundhângan, yakni untuk mengiringi acara merpati (Irmawati, 2004, 54). Di daerah Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan, juga ada ensambel sejenis dengan glundhângan dan ghul-ghul, yakni tabbhuwân gebbluk. Ensambel ini secara instrumentasi memiliki banyak kemirip- an, yakni menggunakan kentongan kayu. Bedanya, dalam musik gebbluk, ditambahkan instrumen kennong tello’ (tiga buah kenong) dan serbhung.

Dari beberapa bentuk penamaan ensambel yang telah disebutkan, semuanya memiliki kesamaan, yakni digunakan untuk mengiringi acara yang berkaitan dengan merpati dan ada satu instrumen yang sama, yaitu instrumen tong-tong atau dhung-dhung (kentongan kayu dan bambu) sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1. Sebelum membahas tentang fungsi dan peranan ensambel glundhângan secara lengkap, akan dibahas lebih dahulu peranan instrumen tong-tong/ dhung-dhung, mengingat instrumen ini merupakan instrumen penting dan khas dari ensambel glundhângan.

Tong-tong berasal dari tiruan bunyi (onomatope) instrumen musik yang terbuat dari kayu atau bambu yang dilubangi tengahnya sebagai ruang resonansinya. Instrumen ini mirip dengan kentongan yang biasa digunakan oleh masyarakat Jawa untuk ronda malam dan sebagai alat komunikasi zaman dahulu (penanda bahaya). Di dalam masyarakat Madura, instrumen tong-tong biasa digunakan dalam banyak fungsi, antara lain sebagai instrumen dalam orkes patrol yang berfungsi untuk membangunkan orang sahur ketika bulan ramadan dan sebagai instrumen musik pengiring ensambel musik tertentu (okol dan glundhângan) (Bouvier, 2002, 42–48).



Ada tiga jenis tong-tong yang sering digunakan oleh beberapa empu merpati di Jember, yaitu tong-tong perrèng (terbuat dari bambu berukuran kecil), dhung-dhung (terbuat dari kayu berukuran besar), dan tong-tong ghellung (terbuat dari kayu berbentuk gelung). Pada tradisi dhârâ ghettakan, instrumen tong-tong memiliki beberapa fungsi penting. Tong-tong tidak dibunyikan secara sembarangan, ada waktu-waktu khusus dan ada irama-irama khusus serta syarat yang harus dipenuhi sebelum tong-tong itu ditabuh. Sebagian besar masyarakat mengenal tiga jenis tabuhan tong-tong dalam kaitannya dengan tradisi dhârâ ghettakan, yakni 1) tong-tong ngenning (gudul/ nitèr), 2) tong-tong ngongghâ aghi (matèngghi), dan 3) tong-tong pangolok.

Tong-tong ngenning dibunyikan hanya ketika si empu berhasil mendapatkan burung merpati. Pada konteks ini, dibunyikan irama khas dari pukulan tong-tong tersebut, sehingga memberikan kode dan informasi kepada masyarakat sekitar, khususnya sesama empu merpati bahwa ada salah seorang empu (penabuh tong-tong) yang baru saja mendapatkan merpati. Saat tong-tong ngenning dibunyikan, biasanya sesama empu merpati (umumnya rekan se-paguyuban) akan berdatangan ke rumah empu yang baru saja mendapatkan merpati untuk memberi selamat dan melihat burung yang baru saja didapat.

Di Desa Soca Pangepok, tanda tersebut dikenal sebagai gudulân. Jika kode tong-tong gudul berbunyi, itu artinya nanti malam akan ada pesta nyata dan para penabuh musik glundhângan harus bersiap- siap mengangkut alat ke rumah empu yang baru saja mendapatkan merpati (Sup, Komunikasi Pribadi, 29 Desember 2018). Di sisi yang lain, tong-tong ngenning juga bermakna sebuah ejekan terhadap empu yang kalah (kehilangan burung merpati). Dibunyikannya tong-tong ngenning artinya seseorang yang kehilangan merpati telah dipermalukan di hadapan warga desa. Tabuhan tong-tong ngenning dalam hal ini dapat dimaknai sebagai sebuah tabuhan kemenangan (glorifikasi).

Tong-tong ngongghâ’aghi memiliki dimensi yang berbeda dari tong-tong ngenning. Sebagai ilustrasi akan dinarasikan dalam catatan etnografi berikut.

Sekira pukul 12 malam, Mas Budi memberitahu saya bahwa ia akan melakukan ritual ngongghâ-aghi dhârâ (meninggikan merpati). Mula- mula ia ke belakang rumah, tepatnya di bagian dapur. Ia mengambil dhung-dhung berukuran besar dan pemukulnya yang di ujungnya dibaluti oleh karet ban bekas. Sebelum memukul, ia merapal mantra dan doa lalu meniup pemukul yang dipegangnya dengan rapalan mantra yang sudah dibaca. Mas Budi memukul dhung-dhung dengan irama yang dinamis, pelan lalu keras, selama satu menit. Burung merpati yang berada di atas pajhudhun setinggi lima meter berdekut seolah membalas pukulan irama dari dhung-dhung tersebut. Pagi harinya, Mas Budi melepas segerombolan merpatinya. Segerombolan merpati terbang mengitari atap pajhudhun, makin lama makin tinggi dan akhirnya pulang dengan membawa sepasang merpati baru yang diduga lepas dari empunya. Mas Budi berhasil menangkap dan kemudian membunyikan dhung-dhung ngenning yang bertanda ia telah mendapat keluarga baru (Catatan Etnografi, 12 Februari 2019).

Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa tong-tong ngongghâ aghi terikat dengan laku ritual si empu dengan burung merpatinya. Irama yang dibunyikan melalui tong-tong memiliki fungsi sebagai media komunikasi antara empu dengan burung merpatinya. Irama tersebut diyakini oleh para empu dapat menghipnotis serta mengantarkan doa (mantra) yang ditujukan kepada merpati melalui getaran bunyi tong-tong. Maksud dari dibunyikannya irama tersebut adalah supaya burung merpati dapat terbang lebih tinggi (ongghâ) dan cepat dari biasanya. Perlu diketahui bahwa tong-tong ngongghâ aghi hanya di- lakukan di waktu malam hari, antara pukul 12 malam sampai 2 dini hari, dan diiringi dengan membaca doa dan mantra yang ditujukan kepada burung merpatinya.

Tabuhan yang terakhir adalah tong-tong pangolok. Tabuhan ini juga memiliki dimensi yang sama dengan tabuhan ngongghâ aghi. Tong-tong pangolok hanya dibunyikan oleh empu merpati ketika merpati miliknya terbang terlalu jauh atau menghilang (tidak pulang). Membunyikan tabuhan ini juga disertai dengan pembacaan doa dan mantra terlebih dahulu agar burung merpatinya yang berada di kejauhan dapat merasakan getaran dari bunyi tong-tong pangolok yang dibunyikan. Beberapa empu terkadang menggunakan tong-tong pangolok untuk perihal yang dianggap curang oleh masyarakat, seperti memanggil beberapa merpatinya yang telah dijual kepada orang lain beberapa tahun yang lalu (Budi & Salam, Komunikasi Pribadi, 22 Januari 2019). Hal yang demikian lazim terjadi di kalangan masyarakat karena merpati memiliki naluri yang kuat terhadap empunya. Jika empu yang baru tidak merawat dan melatihnya dengan baik, tidak jarang sang burung akan pulang kembali pada empu lamanya.

Instrumen tong-tong dan dhung-dhung yang khas dan identik dengan tradisi dhârâ ghettakan menjadi instrumen wajib dan penting dalam ensambel musik glundhângan. Maka dari itu, ensambel glundhângan selalu dihubungkan dengan tradisi dhârâ ghettakan oleh masyarakat. Alih-alih gamelan metalofon yang memiliki banyak fungsi dalam masyarakat Madura, seperti pengiring pernikahan serta pengiring tabbhuwân ketoprak dan ludruk, glundhângan hanya difungsikan untuk acara dhârâ ghettakan saja. Jika diundang dalam acara pernikahan, glundhângan tidak lepas dari paguyuban merpati- nya. Dalam konteks tradisi dhârâ ghettakan, glundhângan difungsikan untuk berbagai hal dan peristiwa yakni dalam konteks acara totta’an dhârâ, nyata, dan arèsan.

Pada konteks totta’an, glundhângan berfungsi sebagai musik hiburan dan pengiring pelepasan merpati. Sebelum acara totta’an dimulai, tabbhuwân glundhângan sudah berada di lokasi pertandingan dan memainkan beberapa repertoar gending-gending Madura yang bertujuan untuk menyambut para empu merpati dari kedua pagu- yuban. Tabbhuwân glundhângan biasanya diundang oleh tuan rumah penyelenggara totta’an atau sesuai hasil dari kesepakatan kedua pagu- yuban. Pada saat pelaksanaan pelepasan merpati bersama, tabbhuwân glundhângan memainkan musik yang tegang dan rancak, berfungsi untuk membangun adrenalin dan emosi para empu yang bertanding. Emosi para empu yang memuncak ketika menyaksikan merpatinya terbang secara acak dan bercampur dengan merpati milik lawannya di atas langit, kemudian didramatisasi dan diaduk-aduk oleh alunan musik tabbhuwân glundhângan. Alhasil, semua itu menciptakan atmosfer peperangan di antara para empu merpati. Semuanya saling menyorak, saling membentak, mencaci, bahkan mengejek burung milik lawannya ketika tak mampu terbang mengikuti koloninya, dan semua orang tertawa bersama alunan musik glundhângan.

Empu yang berhasil memenangkan acara totta’an ataupun yang telah berhasil mendapat burung merpati di luar acara totta’an, setelah membunyikan tong-tong ngenning akan mengadakan acara nyata sebagai wujud kemenangannya. Nyata diadakan pada malam hari, mengundang tetangga dan kerabat sesama anggota paguyuban merpati di desa dengan hiburan berupa musik glundhângan. Di Desa Soca Pangepok, acara nyata masih sering dilakukan oleh masyarakat, mengingat hampir setiap rumah memiliki pajhudhun dan memelihara merpati ghettakan.

Di suatu malam, saya ditemani oleh Ju’ Salam (sesepuh penabuh glundhângan), Mas Sup (penabuh glundhângan), Yongki, dan Cak Lip melihat beberapa set instrumen glundhângan yang kuno di rumah Pak Di. Beberapa hari yang lalu di rumah Pak Di baru saja diseleng- garakan acara nyata. Ia baru saja mendapatkan beberapa ekor merpati. Glundhângan tersebut masih berada di rumahnya dan belum sempat dikembalikan oleh Pak Di. Menurut Ju’ Salam, acara nyata bermaksud sebagai pertanda bahwa ada yang berhasil mendapat merpati. Ju’ Salam dan kawan-kawannya bermain glundhângan untuk nyata secara sukarela dan sifatnya bukan tanggapan. Sudah menjadi tradisi jika di desa ada yang menyelenggarakan nyata, Ju’ Salam dan kawan-kawan harus bersedia untuk memainkan glundhângan di tempat tuan rumah sebagai apresiasi terhadapnya (Catatan Etnografi, 29 Desember 2018).

Beberapa di antara para penabuh glundhângan di Desa Soca Pangepok justru tidak memelihara merpati ghettakan. Mereka hanya setia melayani beberapa warga desa yang mengadakan acara nyata. Biasanya, mereka bermain dari pukul tujuh malam sampai dini hari tanpa dibayar. Bermain glundhângan saat acara nyata merupakan wujud apresiasi seniman desa terhadap kehebatan empu yang telah berhasil mendapatkan merpati. Berikut dalam Gambar 2.2 adalah salah satu contoh perangkat instrumen musik glundhângan yang digunakan oleh warga desa Soca Pangepok dalam acara nyata.

Ju’ Salam mengatakan bahwa sering kali lawan yang kalah akan marah dan panas karena ia merasa dipermalukan dengan perayaan nyata. Ia pasti merencanakan sesuatu untuk membalas kekalahan. Begitu ia memperoleh kesempatan mendapatkan merpati (walau hanya seekor), ia akan membalas dengan mengadakan perayaan nyata. Terkadang biaya yang dikeluarkan untuk acara nyata jauh lebih besar daripada harga seekor merpati yang didapat (Ju’ Salam, Komunikasi Pribadi, 29 Desember 2018). Dalam acara nyata, seorang empu wajib memberi hidangan konsumsi berupa makanan kepada tetangga dan kerabat yang datang. Dengan demikian, nyata dan glundhângan bukan hanya semata perayaan kemenangan, tetapi juga penyaluran hasrat eksistensi (gengsi) dan pertaruhan harga diri masyarakat Madura.

Konteks berikutnya adalah glundhângan dalam arisan paguyuban merpati. Kebanyakan paguyuban merpati di Jember memiliki satu set glundhângan beserta set pengeras suara. Musik glundhângan dimainkan selama acara arisan berlangsung dari pukul 8 pagi sampai pukul 12 siang. Paguyuban Merpati Putih pimpinan Bapak No di daerah Keranjingan setiap minggu melaksanakan arisan anjangsana dengan menggunakan hiburan glundhângan dan disiarkan melalui pengeras suara.

Pada Minggu pagi pukul 08.00, saya berangkat ke lokasi arisan, yaitu rumah Pak Taufik di daerah Keranjingan bersama Pak Jamhari (penabuh glundhângan). Di lokasi, hanya ada tuan rumah dan seorang soundman (operator sound) yang mempersiapkan microphone ke tiap instrumen glundhângan. Pak Jamhari mulai menata instrumennya. Satu persatu anggota berkumpul dan saling bergantian memainkan glundhângan. Sedikit berbeda dari glundhângan di Soca Pangepok, di sini glundhângan-nya bercampur dengan set musik lain seperti kendang Banyuwangi, saron, dan gong. Di sini juga sudah tidak menggunakan lagi instrumen tong-tong karena perkara efisiensi dalam membawanya. Mereka memainkan lagu-lagu Banyuwangi, Jawa, gending Jaranan, dan sesekali memainkan lagu dangdut Madura berjudul Okossa Menynyan. Mereka tidak berhenti bermain hingga acara makan bersama dan acara arisan selesai (Catatan Etnografi, 30 Desember 2018).

Kelompok glundhângan di Keranjingan memiliki corak yang berbeda dengan Soca Pangepok. Jika di Soca Pangepok karakternya dominan Madura, di daerah Keranjingan bentuknya sudah asimilatif. Hal ini dapat dipahami karena daerah Soca Pangepok berada di daerah pinggiran dan pegunungan yang aksesnya sulit dijangkau sedangkan di Keranjingan berada di dekat kota sehingga proses interaksi masyarakat antarbudaya berjalan dengan dinamis. Dalam konteks arisan, musik glundhângan memiliki fungsi sebagai sarana untuk saling berinteraksi antarempu dalam sebuah paguyuban mer- pati. Glundhângan juga menjadi musik hiburan dan pengiring dalam pelepasan merpati dalam acara arisan. Berikut salah satu dokumentasi foto (Gambar 2.3) arisan merpati di desa Keranjingan, yang diseleng- garakan oleh Paguyuban Merpati Putih.

*****

Diangkat dari ebook Tabbhuwân: Seni Pertunjukan Masyarakat Madura di Tapal Kuda, Bab: Seni Ritual, Penulis Panakajaya Hidayatullah, Penerbit BRIN, 2024.

_________________

Tulisan bersambung

1. Glundhângan dan Merpati dalam Praktik Sosial-Budaya
2. Musik Glundhângan sebagai Medium Komunikasi
3. Cara Komunikasi melalui Musik Glundhângan dengan Merpati dan Masyarakat Sekitar

 

Writer: Panakajaya HidayatullahEditor: Lontar Madura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.