Madura sebongkah pulau yang tanahnya berbukit-bukit, banyak mengandung tanah liat dan kapur, sehingga tidak kedap air. Keadaan ini menyebabkan tanah Madura kurang begitu subur. Pertanian selalu ditentukan oleh musim “nambhârâ’ nèmur”, sehingga hasil pertanian kurang begitu menguntungkan bagi masyarakat Madura. keadaan dan tempaan alam yang begitu kuat ini menyebabkan masyarakat Madura lebih militan bekerja dalam mencari penghidupannya.
Masyarakat Madura umumnya bekerja sebagai nelayan dengan mottonya “abhântal ombâ’ asapo’ angèn”. Mereka pada umumnya mengharapkan penghasilan yang lebih dari laut. Mereka bisa berlayar berbulan-bulan lamanya. Akhirnya mereka (kaum lelaki) terbiasa meninggalkan keluarga dan kampung halamannya untuk mengais nafkah di daerah lain.
Keadaan ini lambat laun menciptakan keromantisan tersendiri pada hubungan suatu keluarga Madura. Khususnya terungkapnya penghargaan dan nilai-nilai kesetiaan kaum wanita Madura terhadap para suaminya. Misalnya seorang suami yang bepergian jauh (biasanya berlayar) sehingga membutuhkan waktu lebih dari dua hari selalu pulang dengan berbekal sebungkus bunga.
Bungkusan bunga bercampur “bhâbur”, atau apa yang disebut sebagai irisan pandan wangi, diserahkan kepada sang istri di rumah. Inilah permohonan halus sang suami untuk meminta izin menggauli istri setelah lama beper-gian. Kesediaan sang istri terlihat dari taburan bunga tersebut di atas kasur. Tetapi bila bunga tetap terbungkus dan diletakkan di bawah bantal, serta setangkai terselip di rambut sang istri itu pertanda permohonan ditolak. Sang istri sedang “kedatangan tamu” sehingga tidak bisa melayani.
Romantisme ala Madura ini bila dicermati bukan hanya mendukung nilai kese-tiaan, tetapi juga mendukung nilai pengabdian sang istri pada suami. Itu sebabnya banyak pasangan suami istri di Madura mencoba untuk terus mempertahankannya. Meskipun banyak juga yang sudah melupakannya, karena dianggap lebih mudah berkomunikasi langsung.
Untuk melukiskan kekerasan bekerja dan romantisme keluarga ini, Zawawi melukiskan melalui puisinya “pelaut Muda” sebagai berikut
……………………………………………………
kepergiannya setiap kali
meninggalkan deru gelombang
di laut dada istrinya
seperti ia tak kan kembali
kalaupun kembali
pasti berangkat ke laut lagi
Kebiasaan orang Madura berlayar dan meninggalkan kampung halamannya menyebabkan orang Madura banyak tersebar di daerah lain. Umumnya orang Madura tersebar di daerah pesisir pantai, seperti daerah Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Jember, Lumajang, Bondowoso, Banjarmasin, Sampit, Pangkalambun, dan Pontianak (khususnya Sambas).
Pada bagian atas telah disinggung bahwa tanah Madura merupakan tanah yang kurang subur kalau tidak bisa dikatakan tandus. Hal ini menyebabkan masyarakat madura berpandangan “jika ingin berhasil dalam mencari kehidupan, maka orang Madura harus keluar dari Madura”. Jika dicermati larik Pakowad bâ’na nyarè nafakah/ sanajjhân kodhu manca (kuat-kuatlah engkau mencari nafkah /walaupun harus merantau) atau larik Pasanta’ sanajjhân jhâu (bergegaslah mencari walaupun sampai ke tempat yang jauh).
Dari larik-larik puisi ini dijumpai lambang-lambang yang menggunakan kata-kata atau ungkapan kunci yang melambangkan sesuatu, yaitu kata “manca” dan “jhâu”. Kata “manca” atau “jhâu” sinonim katanya dalam bahasa Indonesia kata “rantau” atau “perantauan” atau “merantau”. Dalam bahasa Indonesia, kata “rantau” atau “perantauan” dapat diartikan (1) pesisir sekeliling teluk, dan (2) pergi ke negeri lain (asing) untuk mencari nafkah.
Kata “manca” dan “jhâu” yang digunakan pada larik puisi tersebut tampaknya hanya memiliki makna yang tunggal (tidak ambigu), yaitu pergi ke negeri lain (asing) untuk mencari nafkah atau kehidupan. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Madura suka bekerja keras dengan cara merantau.
Pemakaian kata “manca” dan “jhâu” yang melambangkan ide atau sikap hidup masyarakat Madura yang suka merantau atau bekerja keras diperkuat lagi oleh hadirnya larik ongghâ toron la tanto/ ngèbâ ollèna alomako (naik turun sudah tentu/membawa hasil bekerja). Kata “ongga” dalam konsep orang Madura adalah pergi ke daerah seberang atau daerah lain (asing) untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Sedang kata “toron” dalam konsep orang Madura adalah pulang ke kampung halamannya.
Dan biasanya jika “toron” orang Madura membawa harta dan benda sebagai bukti bahwa ia telah berhasil dalam mencari kehidupan. Jadi, tidak heran jika pada waktu-waktu tertentu (waktu orang Madura “toron”), misalnya setiap perayaan hari-hari besar Islam (Maulid Nabi Muhammad SAW, Hari Raya Idul Fitri, musim haji, dan Idul Adha) akan didapati pemandangan orang Madura “nyongghuy” atau memikul barang-barang untuk dibawa pulang ke kampung halamannya. Orang Madura jika sudah waktunya “toron” akan mengatakan
……………………………………………………
Bânne cacana sè èbhukteyaghi
Anangèng bhuktena sè ètoddhuwaghi
Molana ngorangi caca biyâ’aghhi
Tarongghu alako mastè èpangghi
………………………………………………….
Bukan ucapan yang dibuktikan
Tetapi bukti yang harus ditunjukkan
Makanya, biasakanlah mengurangi ucapan
Bekerja dengan sungguh-sungguh pasti terlihat