Larik-larik puisi “bhâjheng alako” di atas jika disimak tidak hanya ditujukan pada lelaki Madura saja, tetapi juga pada kaum perempuan Madura. Perempuan Madura harus juga bisa bekerja keras untuk membantu suami dalam mencari nafkah atau kehidupan. Oleh karena itu, di luar Madura kaum wanita Madura distereotipekan sebagai wanita yang berpenampilan begitu seronok. Kain kebaya ketat, dengan betis terbuka, bahkan juga perut dan menanggalkan kerudungnya.
Padahal jika dipahami bagaimana pandangan hidup dan kehidupan wanita Madura, maka kesimpulan tentang stereotipe wanita Madura yang banyak dikenal oleh orang luar Madura sebenarnya kurang benar kalau tidak bisa dikatakan salah.
Wanita Madura berpenampilan seronok dengan kain kebaya yang ketat, dengan betis terbuka, perut terbuka, dan menaggalkan kerudung, serta memegang gentong sebenarnya dikarenakan alasan-alasan praktis saja. Alasannya, wanita-wanita Madura merupakan wanita-wanita yang setia membantu suami. Karena alam keras Madura tidak cukup menuntut kaum laki-laki saja yang bekerja, tetapi juga kaum wanitanya. Mereka ikut menyabit rumput, menyiram tembakau, sehingga bila mereka memakai kain agak pendek itu dikarenakan alasan praktis saja.
Bila diteliti lebih jauh lagi sebenarnya sulit melihat pusar wanita Madura dalam keadaan biasa, kecuali menjumpai wanita Madura di dalam keadaan bekerja. Besar kemungkinan mereka terlihat lantaran kain “melorot” tidak berarti ada unsur kesenga-jaan. Oleh karena itu, sangat mengherankan bila dalam setiap penampilan busana wanita Madura justru itu yang muncul, seolah menjadi ciri khas pakaian wanita Madura tradisional.
Wanita Madurapun lalu jadi identik dengan kain kebayanya yang serba ketat, betis terlihat, begitu juga perut. Padahal itu hanya pakaian kerja, masih banyak pakaian Madura lainnya, misalnya kalambhi sono’ (semacam kebaya panjang) yang biasa digunakan wanita Madura di saat acara resmi. Pakaian yang dianggap cukup sopan ini muncul atau dikenakan saat mereka berhadapan dengan orang lain dalam acara-acara pertemuan.
Tolak ukurnya sebenarnya saat wanita Madura berhadapan dengan orang lain, jadi bukan ketika mereka sedang bekerja sendiri di dapur, atau di ladang membantu suami. Di mana wanita Madura saat itu hanya memakai pakaian yang praktis saja tanpa pretensi untuk memperlihatkan bagian auratnya. Tentu sudah bisa dibayangkan betapa repotnya wanita Madura bila dalam bekerja membantu suami harus mengenakan kebaya panjang, sementara tugas mereka lebih menuntut ruang gerak bebas, seperti menyabit rumput, menyiram tembakau di ladang, bersepeda, dan tugas berat lainnya.
Dari uraian di atas terlihat bahwa pembentukan jiwa masyarakat Madura, yang memiliki karakter dan pribadi yang keras diantaranya disebabkan oleh lingkungan alam sekitar. Namun demikian juga tidak menutup kemungkinan adanya pengaruh faktor-faktor lain, seperti pergaulan, pendidikan, lingkungan masyarakat, dan pengalaman masyarakat Madura harus selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tempaan-tempaan hidup menyebabkan masyarakat Madura mempunyai nilai filosofis tersendiri tentang hubungannya dengan hakikat hidup. Bagi Manusia Madura hidup adalah sulit, tetapi manusia dapat mengusahakan menjadikan hidup ini sebagai suatu hal yang baik dan menggembirakan. Oleh karena itu, masyarakat Madura berpandangan bahwa jika mereka ingin hidup bahagia, maka mereka harus bekerja keras dengan cara merantau. Hal ini terkonsepsikan dalam ungkapan bahasa Madura “abhântal ombâ’ asapo’ angèn” (berbantal ombak dan berselimutkan angin).
Daftar Rujukan
Bagus, IGN (Ed.). 1987. Analisis dan Kajian Geguritan Salampah Laku karya Ida Padanda Made Sidemen.
Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
Bogdan, R dan Sani, K.B. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and
Methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Damono, S.Dj. 1978. Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Kempson, R. Tanpa tahun. Teori Semantik. Terjemahan oleh Dr. Abdul Wahab, M.A. 1995. Surabaya:
Airlangga University Press.
Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Miles, M.B dan Huberman, A. Michael. 1989. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Ritonga, D. 1986. Anak Na Dangol Ni Andung. Jakarta: Depdikbud.
*****
Sumber tulisan diunduh dan diresume dari media.neliti.com, dengan judul asli: Ekspresi Nilai Filosofis “Abantal Ombak Asapo’ Angin” Dalam Sastra Madura (Kajian Analisis Semantik Komponensial Ruth Kempson)