Naungan Umbul-Umbul Singasari dan Majapahit (1222-1478)
Mien Ahmad Rifai
Sejarah nasional indonesia mencatat bahwa pada tahun 1222 kerajaan Kediri berhasil dikalahkan oleh Tumapel. Semula Tumapel adalah wilayah taklukan Kediri dan diperintah raja bawahan Ranggah Rajasa yang secara populer dikenal dengan nama Ken Angrok Bagi Madura peristiwa ini berarti beralihnya penguasaan atas pulau itu dari Kediri ke tangan Tumapel, yang kemudian tumbuh berkembang menjadi kerajaan Singasari. Selain itu akhir kerajaan Kediri menutup pula periode masa prasejarah Madura. Sejak pemerintahan wangsa Rajasa yang dimulai Ken Angrok, memang terdapat peninggalan berupa prasasti dan bahan-bahan tertulis yang secara tegas mengacu pada Madura.
Permulaan masa sejarah Madura bersamaan pula dengan berakhirnya masukan baru pengaruh kebudayaan India secara langsung, Sejak saat itu kedatangan pedagang India sangat berkurang karena negeri itu diserbu dan dikuasai bangsa Mongol, serta mulai dimasuki agama Islam. Di nusantara kejadian ini menyebabkan perkembangan kebudayaan setempat yang secara pekat sangat bersifat lokal. Kesemuanya menumbuhkan kebudayaan bercorak kejawen dan kemaduraan yang khas. Salah satu akibatnya adalah terjadinya sinkretisme atau pembauran ajaran agama Hindu dan Budha sehingga menjadi agama Siwa-Budha.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa penguasa yang dipercayai memerintah satuan-satuan wilayah di Madura pada waktu itu ditentukan langsung oleh Singasari. Penunjukan langsung oleh Singasari tersebut tentunya berkaitan erat dengan politik pamalayu yang dianut oleh raja Wisnuwardhana (memerintah tahun 1248 1268) dan Kertanegara (1268-1292). Upaya meluaskan kekuasaan guna menancapkan umbul umbul merah putih di wilayah Melayu dan daerah luar Jawa lainnya pasti memerlukan bala tentara yang banyak. Oleh karena itu, seperti masa-masa sebelumnya para prajurit dan pelaut Madura tentu ikut pula dikerahkan untuk memberikan dukungan tenaga dan logistik.
Prasasti Mula Malurung yang dikeluarkan Prabu Seminingrat atau Wisnuwardhana pada tahun 1255 menyatakan bahwa raja-raja bawahan daerah taklukan Singasari adalah anak-anak atau sanak saudara Sang Prabu. Dari rekaman prasasti tersebut diungkapkan bahwa sanak keluarga Wisnuwardhana yang diangkat sebagai penguasa Madura adalah Nararya Kulup Kuda. Menarik untuk mencatat bahwa nama kuda pernah disandang pula oleh tokoh lain Madura yaitu Joko Tole yang beralias Kudo Panoleh atau Jaran Panoleh, dan di Madura timur kemudian ada keturunannya yang menjadi orang berpangkat bernama Kudonarpodo, Kiprah pemerintahan Kulup Kuda di Madura tidak banyak diketahui, dan pada tahun 1269 kedudukannya digantikan oleh Arya Wiraraja.
Orang yang sebelumnya menjabat sebagai patih Daha dan bernama Banyak Wide ini, sebenarnya ‘dibuang’ oleh Raja Kertanegara untuk menjadi penguasa wilayah Songennep atau Sumenep. Menurut cerita tutur Madura adipati yang baru itu berkedudukan di Batuputih. Buku Pararaton dan prasasti Kudadu secara panjang lebar menguraikan peran arya Wiraraja dalam proses penghancuran kerajaan Singasari. Sumber yang sama memaparkan pula saham besar orang-orang Madura dalam pembangunan kerajaan Majapahit yang menggantikannya. Peristiwanya dimulai ketika pada tahun 1292 Kertanegara menghina urusan maharaja Cina Kubilai Khan yang menghendaki agar Singasari menyerahkan upen tanda pengakuan takluk. Dengan sendirinya Singasari menolak tuntutan ini sehingga menimbulkan kemarahan Kubilai Khan. Untuk itu ia berniat membalas dendam dan menghukum Kertanegara dengan jalan menyerang Singasari
Namun sebelum tentara Cina yang dikirim ke Jawa untuk menjarah Singasari tiba, terjadi perkembangan lain. Raja bawahan Gelang Gelang yang bernama Jayakatwang dan masih merupakan keluarga Kertanegara memberontak pada akhir tahun 1292. Dengan berkomplot bersama arya Wiraraja (yang sakit hati kepada Kertanegara karena merasa pengangkatannya ke Madura sebagai hukuman) Jayakatwang berhasil mengalahkan Singasari. Kebetulan pada saat pertahanan Singasari lemah karena sebagian besar tentaranya bertugas di Sumatera. Kertanagara terbunuh tetapi menantunya yang bernama Dyah Naraya Sanggramawijaya dapat melarikan diri ke Madura.
Dalam buku-buku babad dan sejarah yang ditulis kemudian, tokoh keturunan wangsa Rajasa ini terkenal dengan nama Raden Wijaya, tetapi gelar ruden baru diciptakan dan dipakai orang dua abad kemudian. Di Madura ia mendapat perlindungan dan bantuan Arya Wiraraja. Yang terakhir ini kemudian menasihani Dyah Wijaya agar kembali ke Jawa serta berpura pura menyerah kepada Jayakatwang yang sudah menduduki tahta leluhurnya di Kediri.
Walaupun dengan penuh kecurigaan, Jayakatwang menerima penyerahan Dyah Wijaya. Karena berhasil mendapatkan kepercayaan Jayakatwang, tak lama kemudian ia diizinkan membuka sebidang tanah di hutan Tarik guna dijadikan perkampungan tempat pemukimannya. Pekerjaan pembukaan hutan itu dilakukan dengan bantuan orang-orang Madura yang sengaja dikirim oleh Wiraraja. Konon salah seorang pekerja Madura yang sedang lapar mencoba makan buah pohon maja Agmer yang banyak tumbuh di hutan tadi, tetapi menemukan buahnya pahit. Sejak itu tempat tersebut diben nama Majapahit (atau Wiankta dalam Bahasa Sansekerta). Secara diam-diam tempat baru itu diperkuat oleh Dyah Wijaya sehingga menjadi sebuah perbentengan yang mudah dipertahankan
Pada tahun 1293 datanglah tentara Cina (yang dalam cerita cerita populer setempat disebut tentara Tartar atau Tartar) untuk menghukum Singasari yang sebenarnya sudah berganti raja. Dyah Wijaya bergabung dengan tentara penyerang tersebut sehingga ia dapat ikut menggempur Jayakatwang guna membalas dendam kematian mertuanya. Setelah Jayakatwang berhasil dikalahkan, orang-orang Majapahit dan Madara berbalik haluan dan menyerang bala tentara Cina. Sebagai akibatnya mereka tercerai-berai dan terpaksa melarikan din ke jung-jung yang menunggunya di pantai. Mereka terpaksa kembali ke negaranya untuk kemudian menerima hukuman dan Kubilai Khan sebab dianggap gagal melaksanakan tugas
Rangkatan kejadian ini memberi peluang bagi Dyah Nararya Sanggrama Wijaya untuk menjadi penguasa negara baru yang kemudian dikenal sebagai kerajaan Majapahit. Dengan demikian pendirian Majapahit terjadi berkat usahanya sendiri dengan dibantu oleh orang-orang Madura. Dyah Wijaya tidak mewarisi kerajaan itu dan Kertanegara, namun dengan tegas dikatakannya bahwa ia tidak memulai dinasti baru. Ia merasa dirinya sebagai penerus wangsa Rajasa yang sempat terputus, ketika menaiki tahtanya ia mengambil nama abuka atau nama penobatan Kertarajasa Jayawardhana (1294-1318).
Untuk membalas jasa-jasa adipan Sumenep, oleh raja Majapahit arya Wiraraja mula-mula diangkat menjadi pasangguhan (semacam panglima perang) kerajaan. Tetapi tak lama kemudian ia dinobatkan sebagai raja di Lamajang Tigang Juru seperti sudah dijanjikan kepadanya sebelumnya di Sumenep saat mereka berdua mengarur strategy buat mengalahkan Jayakatwang
Kerajaan majapahit mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk atau Sn Rajasanagara (memerintah tahun 1350-1389) yang dibantu Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada (1331-1364) Ketika itu kerajaan-kerajaan bawahan yang terpenting adalah Daha, Lasem, Pajang, Kahuripan, dan Singasari Setiap kerajaan bawahan itu diperintah oleh sanak saudara raja Hayam Wuruk sendiri. Wilayah Madura hanya diperintah oleh beberapa orang adipati yang semuanya bertanggung jawab kepada seorang menten amancangan di ibu kota.
Pemerintahan wilayah di Madura dipolakan seperti daerah-daerah kerajaan Majapahit lainnya. Setiap keadipatian dikelola seorang adipati dengan dibantu oleh patih, mantri, pecat tanda (yaitu, pegawai yang mengurusi pendapatan kerajaan), pangalatan (pengawal dan prajurit) serta apupat petugas keagamaan. Sistem pemerintahan dan pembagian daerah keadipatian sudah terlihat mulai mapan. Dengan demikian wilayah seorang adipati dipecah-pecah menjadi beberapa bagian yang masing-masing diperintah oleh seorang aku yang membawahi beberapa desa. Adapun desa itu sendiri diketuai oleh seorang buat.
Para pembesar pemerintahan setempat yang merupakan kelompok terpilih ini umumnya adalah keturunan para bangsawan. Karena kendali dan pusat tidak begitu ketat, para pembesar daerah dan abdi kerajaan sering memiliki kemandirian dan kewenangan yang besar, terutama bagi mereka yang daerahnya banyak berhubungan dengan pedagang mancanegara. Rupanya di antara para tanda yang bertugas di Madura barat ada yang sangat gemar mengadu ayam dan terlibat dalam percintaan segi tiga. Kejadian ini kemudian menjadi sumber tema cerita rakyat Madura barat Tandha Anggrek ban Tandhá Serap yang bersifat tragedi.