Peran Arya Wiraraja Dalam Proses Penghancuran Kerajaan Singasari

Banyak versi dalam cerita tutur dan babad Madura yang mengisahkan kiprahi kegiatan Arya Lembu Perteng sebagai penguasa Madura barat di awal abad XV Satu sumber mengatakan ia hanya seorang bayat, atau akaw, namun ada pula yang menyebutnya berpangkat Aamitiwa ataupun adipan yang berkedudukan di Pamadegan di dekat kota Sampang sekarang Melihat gelar jabatan arya yang dikaitkan pada namanya, agaknya Lembu Petteng memang berpangkat adipan. Jabatan tinggi tersebut didukung pula oleh kepentingan peran Pamadegan (yang beraru tempat pembuatan garam) dalam memasok komoditas yang dihasilkannya ke pasaran kota pedalaman Majapahit.

Lagipula ia dikisahkan sebagai saudara Arya Damar atau Ki Dilah, seorang penguasa Cina peranakan di Palembang Keduanya dikatakan merupakan anak raja Majapahit yang terakhir Brawijaya VII. Tokoh yang populer dalam babad-babad Jawa ini sulit dibuktikan kesahihan. kesejarahannya karena tidak ada raja Majapahit yang resmi bernama Brawijaya sewaktu dinobatkan. Melihat namanya yang mengandung unsur lokal (yang berbau ningrat) serta petting (yang berarti gelap). besar kemungkinan bahwa Lembu Petteng adalah anak tidak resmi Wikramawardhana Sebagaimana diketahui Wikramawardhana adalah menantu yang menggantikan Hayam Wuruk dan memerintah Majapahit pada tahun 1389-1427

Semua cerita nutur dan babad Madura menyatakan bahwa Arya Lembu Perreng dan Arya Damar inilah yang kemudian menurunkan para penguasa Madura barat. Ada kemungkinan bahwa tokoh tokoh terkenal Majapahit tadi dilibatkan para penyusun babad untuk mengalahkan kedudukan penguasa Madura barat sebagai pewaris hak pemerintahan di Madura. Ikatan silsilah dengan Majapahit menjadi semacam tanda legitimasi mereka untuk memerintah.

Ternyata penulis babad Sumenep di Madura timur pun merasa perlu mencan kaitan darah tokohnya dengan Majapahit untuk melegitimasikan penguasa mereka. Hampir bersamaan waktunya dengan masa hidup Lembu Petteng, di Sumenep muncul tokoh legenda Madura lain bernama Kuda Panolih atau Joko Tole. Beberapa versi centers tokoh ini dengan jelas memperlihatkan bahwa kisahnya digubah sebagai sastra pujaan untuk menghormati seorang adipati bernama Setiadiningrat. Ia memerintah Sumenep pada tahun 1415 – 1460 dan berkeraton di Lapa (Dungkek) serta sewaktu mudanya konon bernama Joko Tole

Seperti tokoh legenda lainnya, kisah hidup Joko Tole penuh dengan keajaiban yang tidak masuk akal. Penulisannya terlihat dipengaruhi oleh centera petualangan Joko Suruh dalam Bahad Tanah Jau Joko Tole dikisahkan sangat berjasa kepada Majapahit karena mampu mendinkan pintu besi istana seorang diri. Untuk maksud itu ia minta dibakar hidup-hidup guna dijadikan rumbal pintu gerbang tersebut. Kisah ini mengingatkan orang pada riwayat hidup Ken Angrok seperti diuraikan dalam pembukaan buku Pararaton. Menurut ceritera tutur yang ada, keberhasilan Joko Tole menyelesaikan pintu gerbang besi tadi menyebabkan ia dikawinkan dengan salah seorang putri raja Majapahit

Sebenarnya keindahan gerbang besi itu sudah dikagumi oleh Mpu Prapanca ketika menyusun kakawinnya Desawarnana pada tahun 1365. Oleh karena itu bagian kisah ini mungkin merupakan kilasan jasa Wiraraja dalam mendirikan kerajaan Majapahit. Bahkan adik Joko Tole dikabarkan bernama Joko Wide, jadi mengandung unsur nama yang mirip dengan nama lain Wiraraja yaitu Banyak Wide

Selanjutnya dikisahkan kehebatan Joko Tole memenangkan persaingan melawan Gajah Mada dalam menundukkan perusuh dan Blambangan dengan memenggal kepalanya sebagai bukti. Selain kejanggalan pelibatan Gajah Mada yang sudah meninggal pada tahun 1364, kisahnya sangat mirip dengan lakon ludruk Damarwulan yang terkenal itu. Kemustahilan petualangannya terlihat pula dari kisah perkelahian Joko Tole berkuda terbang melawan Dampo Awang berperahu melayang yang berhasil dibunuhnya dengan cambukan cemen. Dampo Awang yang dimaksud tentulah salah seorang tampuhanung (atau juru mudi kapal) laksamana Cheng Ho atau San Pao, seorang tokoh Cina Islam yang dikeramatkan orang di Semarang, Mungkin pula musuhnya tadi merupakan sosok mitologi Jawa lain yang dianggap setengah dewa sehingga memang bukan seorang tokoh sejarah.

Begitu besar pengaruh Joko Tole itu dalam benak orang Madura sehingga beberapa nama tempat di pulau ini dikaitkan dengan kisah petualangannya. Soca (yang berarti mata) mendapat namanya karena ketika Joko Tole menghentakkan tongkatnya ke tanah desa itu terperciklah air, yang menyembuhkan kebutaan istrinya yang anak raja Majapahit.

Omben dikatakan berasal dari perkataan ambben, yaitu kain pembalut wanita yang dipakai istri Joko Tole. Karena kain itu hilang di mata air besar di desa itu, dikutuknya sumber tersebut untuk tidak dapat keluar dari daerahnya, namun sumber air itu kemudian memasok keperluan air minum kota Pamekasan. Tang-Batang dikisahkan sebagai tempat Joko Tole menjadi bangkai (bhibhitang dalam bahasa Madura), sedangkan desa Sa’asa konon mendapat namanya karena merupakan tempat mayatnya rata (dicuci, dimansikan atau disucikan).

Penjelasan asal-usul nama geografi berdasarkan keratahana (etimologi rakyat) seperti ini tentu tak dapat dipercaya begitu saja, sebab saara adalah nama pohon atau perdu Allophylus cobbe (Supendaceae), sedangkan Batang Batang berarti kumpulan bangunan.

Jadi dalam din Joko Tole dimitoskan terkumpul pelbagai kehebatan yang sebenarnya dimiliki beberapa orang, Kalau disimak secara cermat memang akan ternyata bahwa beberapa tokoh sejarah dan legenda terkenal seperti Ken Angrok, Wiraraja, Damarwulan, dan Joko Suruh lalu digabung dan dipersonifikasikan menjadi seorang pahlawan yang menyatu dalam din Setiadiningrat. Akan tetapi bagaimanapun hebat kesaktian Joko Tole atau Setiadiningrat, adipati Sumenep itu akhirnya terbunuh di tangan penyerang dari Bali pada tahun 1460.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa sesudah paregreg (perang saudara perebutan tahta antara para keturunan Hayam Wuruk, kejadian yang mengilhami kisah populer Damarwulan), keutuhan dan kesatuan kerajaan besar Majapahit menjadi goyah. Keamanan dan ketenteraman dalam negeri tidak terjamin lagi karena antarraja bawahan seringkali terjadi peperangan. Alasan keamanan ini antara lain menyebabkan para pengganti Setiadiningrat terus berpindah-pindah tempat kedudukannya.

Ceritera-ceritera tutur setempat memang merekam bahwa beberapa perkampungan utama seperti Banasare (Kecamatan Ru-Baru), Ghappora (Gapura), Aenganyar (Bluto), Keles (Ambunten), Parsanga (Sumenep), dan Bu-Kabu (Guluk-Guluk) pernah menjadi ibukota keadipatian Songennep. Namun sampai berjayanya kerajaan kerajaan Islam merdeka di sana setengah abad kemudian, tidak ada peristiwa penting atau peran orang Madura yang mencuat sehingga terungkap dalam percaturan sejarah nasional.

Sekalipun demikian ini tidak berarti bahwa rakyat Madura ikut statis. Di penghujung abad XV berlangsung suatu transformasi masyarakat secara besar-besara di nusantara, bersamaan dengan mulai mapannya penyebaran ajaran Islam. Dari ceritera tutur dan babad yang ada memang tersirat banyaknya rakyat Madura yang telah lebih dulu menjadi pemeluk Islam dibandingkan dengan para penguasa pemerintahan daerahnya.
__________________

(Disalin dan diangkat dari buku “Lintas Sejarah Madura”, penulis Mien Ahmad Rifai, Penerbit: LPPM Universitas Trunjoyo Madura bekerjasama Penerbit Elmatera, Oktober 2017, halaman 27-40)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.