Sedang untuk sastra Madura yang ditulis oleh penulis Madura sendiri memang jauh tidak sekuat penulisan sastra Indonesia, bahkan hanya beberapa gelintir penulis saja. Hal ini dibuktikan makin tahun kelahiran sastra (dari) Madura makin bertambah, dan bahkan menempati posisi yang cukup strategis serta diperhitungkan dalam kancah perkembangan sastra di tanah air. Maka tak heran, dalam kondisi perkembangan yang terjadi seperti sekarang ini, Pulau Madura kerap disebut-sebut sebagai lumbung kelahiran sastrawan, pulau penulis, atau gudangnya penyair. Dan sebagainya.
Hal ini tentu bisa dipahami, dalam proses penciptaan maupun kepenulisan sastra Indonesia modern jauh lebih “mudah” dibanding sastra daerah yang butuh proses panjang. Sementara dalam sastra Indonesia, selain mudah dipahami dan diminati oleh penulis maupun masyarakat penikmatnya, juga telah diperkenalkan sejak dini pada anak-anak di semua tingkatan dan seterusnya. Dan bahkan di perguruan tinggi telah disediakan jurusan atau program studi bahasa dan sastra Indonesia, sementara sampai saat untuk program studi bahasa dan sastra daerah (Madura) masih belum tampak.
Pertumbuhan sastra Indonesia modern di Madura secara masif dapat dilihat sejak dekade awal 90-an. Gerakan ini makin meningkat dan sampai tahun ini baru dirasakan bahwa di Pulau Madura banyak dan bahkan lahir ratusan penulis sastra, mulai dalam bentuk puisi, cerpen, novel, esai dan lainnya. Mereka tumbuh dan berkembang, baik di tanah kelahirannya sendiri (Madura) atau yang menyebar hampir seluruh kota di Indonesia, khususnya wilayah Jakarta, Bekasi, Depok, Tangerang, Jogyakarta, Malang dan sebegainya. Mereka aktif menunjukkan karya-karyanya di depan publik, baik dalam publikasi media cetak, online juga dalam bentuk penerbitan buku-buku.
Bila melihat potensi (kekuatan) proses kelahiran penulis Madura, seharus juga diimbangi keperhatian penulis sastra terhadap sastra (darah) Madura. Sangat disayangkan, gerakan kebangkitan sastra daerah di Madura tidak dibarengi oleh keperhatian masyarakat secara umum, apalagi pemerintah setempat yang cenderung pasif membaca fonomena ini. Pemerintah cenderung memperhatikan “apa yang tampak seperti pengembangan pariwisata” sehingga formula budaya Madura yang antara lain tersimpan nilai-nilai kesasteraan termasuk sastra daerah Madura dibiarkan terlantar begitu saja.
Keseriusan masyarakat maupun pemerintah terhadap gerakan pembinaan dan pengembangan sastra daerah dinilai masih kurang dan bahkan belum kecuali beberapa komunitas yang ada namun tidak begitu signifikan untuk menciptakan sejarah baru kebangkitan sastra Madura. (selengkapnya unduh makalah)
Disampaikan pada Seminar Regional Provinsi Jawa Timur, Balai Bahasa Jawa Timur dengan tajuk “Sastra Madura dan Media” tanggal 21 September 2016 di STIT/STIA Al-Karimiah Sumenep, Jawa Timur