Ketakutan juga tidak menghantui semua orang. Beberapa peneliti “nekat” juga telah menelorkan berbagai buku seperti yang direview di media ini; selain Latief, ada Hélène Bouvier, lantaran karena dirinya seorang perempuan, dan beda kultur pula, sehingga ia berkali-kali dilarang menghadiri acara ritual yang khusus dilakukan oleh laki-laki serta beberapa kali dicuekin ketika hendak mewawancarai narasumbernya. Tetapi toh semangatnya yang luar biasa ini menghasilkan karya jempolan yang edisi Indonesia-nya, berjudul Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura.
Sementara Huub De Jonge, meski di minggu-minggu awal saat tinggal di Parindu sempat dicurigai sebagai agen pemerintah atau Penginjil dari gereja Pantekosta, ia berhasil menelorkan disertasi Madura dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam; Suatu Studi Antropologi Ekonomi. Bersama peneliti-peneliti lain, De Jonge juga menerbitkan buku kumpulan tulisan berjudul Agama, Kebudayaan, dan ekonomi; Studi-Studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura. Sementara, Kuntowijoyo menulis Perubahan Sosial dalam Madura 1850-1940.
Saya memulai dari Kuntowijoyo karena diantara peneliti lain, Kunto meng-cover Madura lebih umum. Ia juga mengurai Madura dalam kurun yang panjang, hampir satu abad, 1850-1940. Malah, dalam beberapa kasus, ia menarik lebih panjang dari kurun itu seperti ditunjukkan di bagian catatan akhir.