Oleh Mien A. Rifai
Tanèyan lanjhâng yang secara khas digelar di hadapan rumahnya, yang karena terpaan iklim kurang bersahabat umumnya hanya bisa ditanami pohon kelor atau marongghi yang dililiti sirih sebagai pengejawantahan bentuk pekarangannya, merupakan bentuk sumbangan Madura dalam memapankan citra taman khas yang dimiliki bangsa Indonesia.
Sekalipun rancangan tanèyan lanjhâng terkesan kaku oleh garis-garis geometris serba lurus yang sangat formal, dengan simetri ke segala arah sehingga menghadirkan halaman yang tidak homely, penanaman jenis tanaman bermanfaat ekonomi seperti kelor dan sirih dalam sekejab telah menghilangkan kesan kegersangan dan ketidakakraban halaman itu.
Dengan demikian pekarangan merupakan taman khas Indonesia sebagai penjelmaan puncak kebudayaan daerah, karena pekarangan merupakan contoh penerjemahan kebhinnekatunggalikaan suku-suku bangsa Indonesia yang paling sempurna.
Dalam pekarangan Indonesia maka keanekaragaman jenis tanaman yang muncul umumnya akan ditentukan oleh pantangan adat kesukuan, pengaruh iklim dan geografi setempat, serta kesukaan pribadi, namun dipersatukan oleh kesamaan wanda dan susunan penataannya yang memiripi hutan tropik. Perbedaan pola bentuk penataan yang dijumpai pada pekarangan di berbagai daerah Indonesia disepakatkan oleh keseragaman asas tumpang sari yang mendasarinya.
Ketidaksamaan tingkat sosial pemilik, motivasi ataupun nilai totalitasnya dihilangkan oleh keserupaan fungsi manfaat ekonomi yang dapat dipetik dari pekarangan. Pelbagai macam tamasya, pemandangan ataupun bentang alam sekitar memang telah dijadikan cermin percontohan dalam menggarap pekarangan, yang kesemuanya menghasilkan kesatuan bentuk ekosistem serupa yang berpusat pada rumah dan manusia penghuninya. Dengan demikian setiap suku bangsa yang ada di Indonesia sudah menyumbang sesuatu pada pekarangan sebagai kebudayaan nasional kita (Amin, Rifai, Purnomohadi & Faisal 2016).
Adapun pembangunan rumah-rumah di sekitar sebuah tanèyan lanjhâng oleh pemiliknya dimulai dari roma tongghu yang diletakkannya di pojok barat laut pekarangan. Setelah anak perempuan tertuanya menjadi dewasa dan akan dikawinkan, pemilik rumah akan membangun sebuah rumah untuk dia dan calon suaminya di sebelah timur roma tongghu, dan begitu seterusnya. Sebagaimana diketahui sesudah berumah tangga, laki-laki Madura timur umumnya memang ikut tinggal di rumah yang dibangun orang tua istrinya untuknya, karena diberlakukannya adat uksorilokal.
Sebagai akibatnya, rumah-rumah di sekitar sebuah tanèyan lanjhâng sebenarnya sangat mirip dengan sebuah rumah gadang orang Minangkabau. Kamar-kamar rumah gadang sengaja dibuat berjajar juga untuk tempat anak permpuan si empunya rumah menerima suami mereka, sedangkan semua anak-anak prianya tidur di surau. Dengan demikian jajaran rumah di tanèyan lanjhâng dapat dikatakan merupakan deretan kamar yang diberi atap sendiri-sendiri, sebab diduga bahwa pada dasarnya keluarga orang Madura sebenarnya juga bersistem matriarkat. Kebenaran pendapat ini masih harus diputuskan oleh hasil penelitian yang intensif dan mendalam.
*****
Tulisan bersambung:
- Sumbangan Budaya Madura Kepada Kebudayan Nasional
- Pengembangan Bahasa Madura dan Problematikanya
- Sekilas Falsafah Abhântal Ombâ’ Asapo’ Angèn
- Pembudidayaan Bhâlungka’ dan Tèkay Madura
- Tentang Kuliner: Ètèk sè Nyongkem
- Sèkep Pelambang Kejantanan Seorang Pria Madura
- Aroma Du’remmek dan Kembhâng Campor Bhâbur
- Pola dan Bentuk Rumah: Tanèyan Lanjhâng
- Ramuan Jhâmo Bagi Wanita Madhurâ
- Masa depan Madura Bergantung Pemuda Madura