Pada pembicara kedua, Dinara Maya Yulianti, S.Sos. M.Si. membawakan kertas kerja dengan judul “Pengaruh Komunikasi Keluarga terhadap Kebudayaan di Madura”. Oleh karena narasumber kedua ini banyak bergelut dalam ilmu komunikasi, maka banyak menyoroti masalah budaya dalam aspek komunikasi masyarakatnya. Dimulai dari komunikasi yang dibangun dalam keluarga dengan fungsi-fungsinya yang demikian kompleks. Seperti fungsi komunikasi yang dipergunakan untuk memberikan informasi, untuk mendidik dan untuk menghibur. Juga tentang tujuan dari komunikasi adalah untuk mengubah opini, mengubah sikap, mengubah perilaku, dan mengubah sistem sosial yang ada.
Berangkat dari teori komunikasi ini, akademisi ini membedah perilaku positif dan negatif dalam keluarga dan masyarakat. Dijelaskannya, bahwa penggunaan bahasa dalam berkomunikasi dalam keluarga telah mengalami degradasi. Misalnya bahasa yang dipakai oleh anak kepada orang tuanya sudah tidak berbeda dengan bahasa yang dipakai untuk temannya. Kehalusan dan tingkat bahasa tidak lagi banyak diperhatikan oleh anak sekarang. Selain itu, sikap dan perilaku serta pola permaianan anak-anak yang bersifat tradisional, yang memuat ajaran kesopanan dan kehalusan budi pekerti sudah tidak dikenal lagi. Diakuinya bahwa fenomena ini tidak hanya berlaku di masyarakat dan anak-anak Madura, tapi juga bagi masyarakat kita pada umumnya.
Modernitas adalah pokok persoalan yang mengemuka dalam mencari kambing hitam dari persoalan perilaku dan degradasi budaya yang sekarang terjadi. Masih ada sikap yang mendua dari forum kebudayaan ini dalam men-sikapi desakan kehidupan yang berlabel modern ini. Hal ini nampak dari diterimanya nilai-nilai positif dari kehidupan modern, seperti yang diungkapkan oleh narasumber pertama bahwa ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi adalah salah satu ukuran tinggi rendahnya kebudayaan masyarakat. Tapi ada penolakan terhadap sikap-sikap egaliter ( baca: kebebasan berekspresi ) yang menjadi pra-sayarat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Ini mungkin sebagai satu paradoks yang lainnya, bahwa budaya Madura menerima out put dari kebudayaan modern, sekalipun itu berupa perilaku yang sangat materialistik dan konsumtif, tapi menolak proses yang melatar belakangi munculnya out put modernisme tersebut .
Dikotomi modern dan tradisonal semakin dipertegas lagi oleh narasumber ketiga yang merupakan salah satu tokoh kebudayaan di Sampang, Drs. H. Ali Daud Bey. Dalam kertas kerjanya yang diberi judul “Peran Budaya/Kebudayaan dalam Menemukan Kembali Karakter Madura yang Hilang”, alumni Akademi Seni Rupa Surabaya ini menyampaikan tentang konsep pembangunan manusia Indonesia dalam sektor budaya. Nilai luhur warisan nenek moyang yang terdapat dalam budaya tradisi Madura telah tergerus oleh arus gobalisasi. Tokoh kebudayaan ini menempatkan tradisi masyarakat dalam posisi berhadap-hadapan dengan modernitas dan secara terbuka diakui kekalahan ini. Dalam tulisannya disampaikan keprihatinnya yang mendalam tentang kualitas karakter manusia Indonesia terutama generasi mudanya.
Pada kesempatan itu juga disampaikan keluhannya tentang upaya semua pihak, termasuk para pemerhati kebudayaan, agar tidak terjebak dengan kegiatan-kegiatan karikatif seperti seminar, diskusi dan sebagainya yang tidak menghasilkan rekomendasi terhadap perbaikan. “…untuk dapat kita jawab bersama melalui langkah dan tindakan nyata bukan hanya sekedar beradu otot leher untuk mencari siapa yang berhak mendapatkan predikat paling pintar ngomong yang sebetulnya bukan solusi recovery…” paparnya.
Statement keras itu sebetulnya adalah cambuk bagi pelaku-pelaku dan pemerhati budaya Madura khususnya dan Indonesia pada umumnya untuk mengaca diri, sejauh mana usaha yang telah dikerjakan dalam ke-ikut sertaan membangun bangsa ini. Janganlah kita terjebak dengan sikap aktivisme yang bekerja dengan semangat “seolah-olah”, seolah olah telah mengerjakan banyak hal tapi sebetulnya hanya sibuk dengan diri sendiri. Ada ungkapan yang tepat dari masyarakat Amerika tentang kerja yang sia-sia ini, Sibuk seperti sibuknya anak anjing yang menggigit ekornya sendiri. Kita berlindung kepada Tuhan agar tidak terjebak dalam ungkapan sarkastik semacam ini.
Memang tujuan masih belum jelas akan kemana budaya bangsa ini, tapi dengan hadir dalam forum ini seolah tidak sendirian lagi dalam mengarungi akhir zaman ini. Kesadaran tentang kurangnya diri adalah awal yang baik untuk pencerahan, cermin diri yang tidak berdebu adalah wahana yang baik untuk menangkap kebesaran Tuhan di dunia fana ini. Kebaikan adalah fitrah sedangkan kerusakan adalah perbuatan yang jauh dari terpuji. (*)