Prosesi Ritual Pojhiân Hodo

Tari-tarian dalam Prosesi Ritual Pojhiân Hodo (Foto: Hidayatullah (2020)

Pada mulanya, ritual Pojhiân Hodo diselenggarakan secara sederhana dan terpisah oleh beberapa kelompok kecil di Padukuhan Pariopo. Namun, setelah dipublikasikan dan diresmikan oleh Pemerintah Kabupaten Situbondo pada tahun 2005, ritual Pojhiân Hodo kemu- dian diselenggarakan secara bersama dan meriah (lihat Gambar 2.5). Mengenai bentuk dan tahapan ritualnya ialah sebagai berikut.

Pesucèn

Tahapan pesucèn ini adalah tahapan pembersihan atau penyucian diri (Pramadiansyah, 2009, 49). Sebelum upacara inti dilaksanakan, tahapan pesucèn harus dilaksanakan terlebih dahulu. Seluruh peserta ritual yang terdiri dari pelaku tari, pengrawit, pemangku, dan orang- orang yang ikut di dalam ritual diharuskan bersuci di sebuah mata air yang dikenal oleh masyarakat Padukuhan Pariopo dengan mata air sè cap-cap. Sè cap-cap berasal dari bahasa Madura yang artinya ‘yang menetes’.

Dikatakan sè cap-cap karena mata air ini letaknya di atas dinding bukit dan airnya terus-menerus menetes ke bawah. Mata air ini terletak di sebuah lembah dan berada cukup jauh dari Desa Bantal. Dibutuhkan persiapan fisik yang cukup untuk menuju ke mata air karena perjalanan menuju mata air cukup sulit dan melelahkan sebab melewati medan yang curam, terjal, dan berliku.

Pesucèn ini dilaksanakan sore hari sekitar pukul lima sore. Semua pelaksana atau pelaku upacara bersuci dengan mandi dan berwudu satu demi satu. Pesucèn dipimpin oleh pemangku ritual dengan me- mandikan air pesucèn yang ada di mata air sè cap-cap kepada setiap pelaku ritual. Pesucèn bermakna sebuah penyucian diri secara lahir dan batin. Melalui tahapan ini, para pelaku ritual diharapkan dapat melakukan ritual dengan hati dan pikiran yang bersih, sehingga doa dan harapannya dapat terkabul (Noratio, 2005, 8).

Selain sebagai syarat ritual permohonan hujan, tahapan Pesucèn juga mengandung makna tersirat. Pesucèn dapat dilihat sebagai upaya masyarakat untuk menghormati dan kembali “bersahabat” dengan alam. Mata air sè cap-cap merupakan salah satu sumber mata air yang punya makna penting bagi masyarakat Dukuh Pariopo. Saat musim kemarau panjang, mata air ini merupakan salah satu mata air yang bertahan dan masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Masyarakat sekitar memitoskan mata air ini sebagai tempat yang keramat, tiada lain sebagai upaya untuk menjaga kelestariannya, menghindari dari upaya perusakan dan eksploitasi dari masyarakat yang tidak bertang- gung jawab.

Semedi

Pada malam hari setelah melaksanakan tahapan pesucèn, para pelaku mendatangi Goa Macan untuk bersemedi. Gua ini dipercaya sebagai gua yang pernah ditinggali Raden Damar Wulan saat mencari petun- juk untuk melakukan ritual meminta hujan. Di dalam Goa Macan, dengan khusyuk para pelaku ritual memanjatkan doa selama satu malam dengan tidak tidur hingga keesokan harinya (dalam bahasa Jawa, mele’an) (Noratio, 2005, 8). Mereka berdoa sesuai dengan ajaran agama Islam untuk memohon petunjuk kepada Allah swt. dan berdoa agar ritual yang akan diselenggarakan berjalan dengan lancar dan hujan dapat turun.

Berkurban

Tahapan berkurban dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur terhadap Tuhan. Tahapan ini didasarkan pada kisah Raden Damar Wulan yang mendapatkan petunjuk dari Tuhan untuk menyembelih hewan kurban berupa kambing berwarna hitam yang terdapat di Gunung Masali seusai melaksanakan proses semedi di Goa Macan. Begitu pula dalam pelaksanaan ritual Pojhiân Hodo. Para pelaku ritual Pojhiân Hodo melakukan penyembelihan hewan berupa kambing hitam untuk dikurbankan dan dijadikan sesajen ketika pelaksanaan ritual (Noratio, 2005, 8).

Secara tampak luar, berkurban dilihat sebagai syarat ritual Pojhiân Hodo yang harus dikerjakan agar hujan dapat turun. Di sam- ping itu, berkurban juga dapat dimaknai sebagai simbol kesejahteraan masyarakat atau dengan kata lain sebagai perayaan masyarakat untuk kesuburan.

Setelah proses berkurban selesai, para pelaku menyiapkan segala perlengkapan untuk pelaksanaan ritual Pojhiân Hodo. Perlengkapan tersebut antara lain berupa sesajen yang terdiri dari tumpeng agung, daging hewan kurban, dan lain-lain. Perlengkapan lainnya berupa kostum (pakaian adat untuk ritual) yang terdiri dari odheng (ikat kepala) berwarna merah dan hitam, celana berwarna hitam, selen- dang, serta aksesoris gelang dan ikat pinggang yang terbuat dari daun janur (Pramadiansyah, 2009, 53).

Pelaksanaan Ritual

Setelah perlengkapan ritual disiapkan, pelaku ritual kemudian mela- kukan perjalanan menuju Batu Tomang. Batu Tomang merupakan tempat dilaksanakannya ritual Pojhiân Hodo. Dinamakan Batu Tomang karena di tempat tersebut terdapat beberapa batu yang berukuran sangat besar dan bentuknya menyerupai tungku untuk memasak yang dalam bahasa Madura disebut tomang.

Sesampainya di tempat tersebut, pelaku ritual duduk bersila dengan membuat formasi melingkari sesaji yang diletakkan di tengah-tengah tempat ritual. Salah satu pemangku ritual mengelilingi tempat ritual tersebut dengan menebarkan asap dupa atau kemenyan ke setiap sudut tempat. Kemudian, seseorang dari pelaku ritual melantunkan kidung tua yang merupakan mantra ritual dengan harapan agar ritual tersebut nantinya dapat berjalan hikmat dan lancar.

Mantra dilantunkan dalam bentuk kidung yang disebut “Tembhâng Pamojhi”. Mantra dibacakan/ dinyanyikan oleh salah satu pelaku ritual dan sesekali diikuti oleh para penari. Penyajian saat pembacaan mantra merupakan bentuk seni resitasi.

Sembari membacakan mantra, para pelaku ritual lainnya berdoa dengan menggerakkan tangan dari atas ke bawah secara perlahan dan berulang-ulang. Gerakan refleksi tersebut memiliki makna sebuah permohonan kepada Tuhan untuk meminta hujan. Setelah melakukan gerakan tersebut, para pengrawit mulai memainkan instrumen musik masing-masing dengan tempo yang konstan. Kemudian, para pelaku tari perlahan-lahan berdiri menunggu para pengrawit memainkan semua instrumen musik.

Pada puncak acara, para penari menari sambil berjalan mengeli- lingi sesajen dengan iringan musik dan mantra Tembhâng Pamojhi. Selanjutnya satu per satu tamu dan peserta upacara lainnya diajak untuk ikut menari bersama. Formasi dalam pelaksanaan ritual dapat dilihat pada Gambar 2.5. Ritual Pojhiân Hodo kemudian diakhiri dengan berdoa dan makan bersama. Berakhirnya ritual biasanya ditandai dengan turunnya hujan di wilayah tempat ritual.

Dari beberapa tahapan ritual Pojhiân Hodo tersebut, terdapat nilai-nilai yang dikandung mulai dari awal sampai akhir prosesnya. Berikut ini penjabarannya.

Nilai Spiritual

Seperti ritual-ritual lainnya, ritual Pojhiân Hodo juga mengandung nilai spiritualitas. Pargament (dalam Putro, 2015, 3) mengartikan spiritualitas sebagai sebuah pencarian terhadap sesuatu yang suci (a search for the sacred). Lebih lanjut, Levine, Yoo, Aviv, Ewing, dan Au (dalam Putro, 2015, 3) menambahkan spiritualitas sebagai sebuah hubungan antara seorang individu dengan sesuatu yang tidak tampak secara fisik dan mental, memiliki beberapa elemen, seperti makna, tujuan, dan hubungan dengan sesuatu yang memiliki kekuatan yang jauh melebihi apa yang dimiliki individu. Nilai spiritual dalam ritual Pojhiân Hodo dapat dilihat dari pandangan masyarakat yang meya- kininya sebagai sarana untuk memohon kesuburan kepada Tuhan.

Lebih lanjut, nilai spiritual tersebut dapat digali dari teks mantra Tembhâng Pamojhi. Mantra Tembhâng Pamoji dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama dinyanyikan pada saat awal ritual dan yang kedua dinyanyikan pada saat melakukan tarian. Berikut ini adalah teks mantra Tembhâng Pamoji bagian pertama.

Bissmillahirrohmanirrahim
(Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan maha pe- nyayang)

Tembhâng pamoji kaulâ
(Tembang pemujaan kami)

Pamojhina soccè kalabân atè sèpotè
(Pemujaan yang suci dengan hati yang bersih)

Kaangghuy ngadhâp Ajunan Gustè
(Digunakan untuk menghadap Engkau, ya Tuhan)

Son nak poto abididhân Nabi Adam
(Untuk semua anak cucu Nabi Adam)

Wèkasanè Nabi Muhammad
(Meneruskan Nabi Muhammad)

Sèngko’ jheneng alif, alif iku popocogi
(Akulah zat yang tunggal, zat tunggal itulah)

Sang pangocap sapa liwepa
(Mengabulkan siapa yang Dia kehendaki)

Sèngko’ makhlukka Allah
(Aku adalah makhluk Allah)

Mandhi-mandhi-mandhi diye (Kabulkan-kabulkan-kabulkan di sini) Sendit Jibril cangking Malaikat (Dari malaikat Jibril)

Ondem dâteng-ondem dâteng-ondem dâteng

(Awan datang-awan datang-awan datang) Mon ghâgghârâ – mon ghâgghârâ (Turunlah-turunlah)

Berikut ini adalah teks mantra Tembhâng Pamoji bagian kedua.

Dângdângkep sèrè kakep (Daun sirih yang bertepi-tepi) Mon majid mara ngocap (Jikalau orang mati berbicara)
Mon manossa mara nyangghikep (Jikalau manusia tak berbicara) Somor bhândhung talaghâ petteng (Sumur bendungan telaga gelap)

Sabuhoni moghâ ondem
(Berharap semoga awan mendung datang) Petteng dâteng–petteng dâteng (Mendung datang-mendung datang)

Malaikat papat tekka
(Malaikat mohon datangkan hujan) Tekka dâteng–tekka dâteng (Kabulkanlah–kabulkanlah)

Saksèna para Wali
(Saksinya para Wali)

Wawalina Nabi Muhammad
(Para Wali Nabi Muhammad)

Pada teks mantra di atas berisi sebuah syair puji-pujian yang ditulis dalam bahasa Madura. Para pelaku ritual Pojhiân Hodo yang ingin mencapai inti dari sebuah mantra akan melewati satu bagian yang berisi tentang sugesti. Unsur sugesti merupakan unsur yang berisi metafora-metafora atau cerita yang dianggap memiliki daya atau perasaan tertentu dalam membangkitkan potensi gaib seseorang terhadap mantra tersebut (Maknuna et al., 2013, 6). Unsur sugesti yang terdapat dalam mantra ritual Pojhiân Hodo merupakan unsur–unsur islami.

Terdapat dua nama Nabi yang disebutkan dalam unsur sugesti tersebut, yaitu Nabi Adam dan Nabi Muhammad. Sugesti tersebut berkaitan dengan eksistensi Tuhan dan para Nabi. Data teks tersebut mengungkapkan tentang bentuk metafora dari sèngko’ (saya atau si subjek) yang menjadi makhluk ciptaan Tuhan (Allah).

Pada teks mantra, subjek melakukan pemujaan berupa puji-pujian terhadap sesuatu di luar dirinya yang dianggap memiliki kekuatan lebih. Subjek melakukan pemujaan dengan hati ikhlas dan tulus. Subjek meyakini kekuatan besar akan mengabulkan segala kebutuhan dan keinginan yang diminta. Permintaan yang secara implisit sering kali disebutkan adalah hujan. Hujan merupakan permintaan yang tampak, tetapi dalam konteks ini hujan dapat dimaknai sebagai kesuburan dan kesejahteraan masyarakat.

Gambar 2.6 memperlihatkan Ke Absu, selaku sesepuh adat melaksanakan proses ritual Pojhiân Hodo dengan memimpin doa secara khusyuk dan memimpin iringan musiknya dengan permainan suling. Nilai spiritualitas dalam ritual Pojhiân Hodo dipahami sebagai ketidakmampuan manusia (masyarakat Dukuh Pariopo) sebagai makhluk ciptaan Tuhan untuk melakukan sesuatu di luar kekuatan/ kemampuan dirinya. Bagi masyarakat Dukuh Pariopo, hujan adalah konsep kesuburan dan Tuhan yang berkehendak atas turunnya hujan tersebut.

Pelaksanaan ritual-ritual kesuburan banyak berkembang dan masih berlangsung dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Salah satunya adalah ritual Seren Taun di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Upacara Seren Taun merupakan upacara ritual kesuburan yang diada- kan satu kali dalam setahun, yaitu ketika selesai masa panen. Upacara ini memiliki makna untuk memanjatkan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas rezeki yang mereka terima selama setahun (Subiantoro, 2002, 1).

Seren Taun dapat dimaknai sebagai suatu upacara penye- rahan hasil panen yang telah diterima dan memohon berkah serta perlindungan di tahun berikutnya. Jika dikomparasikan dengan ritual Pojhiân Hodo, kedua ritual ini memiliki tujuan yang sama, yakni memohon kesuburan kepada Tuhan. Perbedaannya terletak pada konsep kesuburannya, hujan merupakan konsep kesuburan bagi masyarakat Dukuh Pariopo, sedangkan panen adalah konsep kesubur- an bagi masyarakat Cigugur.

 *****

Diangkat dari ebook Tabbhuwân: Seni Pertunjukan Masyarakat Madura di Tapal Kuda, Bab: Seni Ritual, Penulis Panakajaya Hidayatullah, Penerbit BRIN, 2024.

 

Tulisan bersambung

1. Pojhiân Hodo sebagai Ritual Kesuburan
2. Prosesi Ritual Pojhiân Hodo
3. Nilai Estetis Ritual Pojhiân Hodo

Writer: Panakajaya HidayatullahEditor: Lontar MaduraSource News

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.