Dalam syariat Islam, haji merupakan kewajiban umat Islam jika telah memenuhi syaratnya dan hanya diperintahkan bagi muslim yang mampu (istitho’ah) sebagaimana dalam Q.S Ali Imron : 97. Pelaksanaan haji merupakan rukun islam kelima, sebenarnya sama dengan ibadah shalat, zakat, dan puasa, tidak bisa dipandang dari simbolitas dan formalitas syarat rukunnya sebagai energi transformasi internal menuju terbentuknya kesalehan ritual individual yang merupakan interaksi antara Allah dengan hambanya saja. Tetapi renungan dan analisis akan esensi dan substansi haji secara mendalam merupakan paradigma untuk menumbuhkan keadaran sosial toleransi umat Islam, sebagai wujud transformasai eksternal yang bisa memberi nilai kualita solitadaris sosial.
Haji yang dilakukan karena tendensi sekedar menggugurkan kewajiban semata dan lebih berorientasi syar’iyah saja tergolongh haji mardud (tertolak). Hal ini disebabkan hanya sekedar dijadikan seseorang dalam mengejar identitas/gelar dan popularitas duniawi saja. Manifestasi kemabruran haji tergantung niat dan kemauan jemaah haji untuk kembali di jalan Allah, mau memperbaiki ibadahnya baik bersifaf personel maupun sosial. Karena banyak sekali dari mereka yang prilakunya sama saja, baik sebelum maupun sesudah melakukan perjalanan ibadah haji. Sangat disayangkan jika terjadi pada tokoh agama dan pejabat pemerintah serta anggota legislatif, yang notabene sebaga panutan masyarakat.
2. Perilaku masyarakat yang akan mengantar dan menyambut jemaah haji juga mengalami pergeseran cita kesopanan dan kehormatan. Sudah menjadi tradisi saat akan mengantar jemaah haji berangkat dan menyambut kedatangannya, masyarakat, tetangga/sanak saudara berbondong bondong datang ke rumah jamaah haji tersebut. Biasanya tuan rumah menyediakan sebungkus roti atau mie instan atau nasi untuk para pengantar/penyambut. Pemandangan yang sangat memalukan ketika para pengantar/penyambut datang seolah olah hanya untuk mendapat sebungkus kue/nasi/mie instan/gula. Karena setelah mendapat kue/mie/nasi tersebut mereka akan pergi tanpa menunggu jemaah haji yang didatangi berangkat/datang, dan segera mendatangi rumah jemaah haji yang lain. Potret fenomena ini menelorkan tradiri yang kontras dengan nilai tatakrama/kesopanan mon oreng riya benni begusse, tapi tatakramana, sanajjan begus tape tatakramana jube’ma; celleb ka ate, dan kontras dengan nilai kehormatan – ja’ abittha’ buri etengga jalan juga ta’ parlo pote tolang, ta’ parlo pote mata.