Asal Usul dan Definisi Sandur
Sandur merupakan kesenian rakyat berupa pesta atau biasa disebut syukuran yang diadakan setelah panen. Pesta setelah panen memang tradisi umum masyarakat Nusantara, khususnya bagi masyarakat Jawa. Sandur. juga dikenal sebagai kesenian masyarakat Madura. Namun ada pendapat kuat lain yang mengatakan bahwa justru merupakan kesenian tradisional yang berasal dari Bojonegoro, Jawa Timur.
Kata Sandur berasal dari kata isan yang berarti selesai panen dan dhur yang berarti ngedhur semalam suntuk sampai pagi). Dari sumber lain mengatakan bahwa Sandur berasal dari bahasa Belanda yaitu soon yang berarti anak anak dan door yang berarti meneruskan
Ada juga yang mengatakan bahwa Sandur berarti sandiwara ngendhur, artinya kesenian yang berisi tentang berbagai macam cerita yang dilaksanakan semalam suntuk. Namun yang paling bisa diterima adalah pendapat yang menjelaskan bahwa sandur berasal dari isane tandur (sawise tandur) yang berarti selesai bercocok tanam.
Dengan kata lain, bahwa kesenian Sandur adalah salah satu bentuk ekspresi seni masyarakat agraris yang dilakukan selesai bercocok tanam. Sehingga perangkat dan materi pertunjukannya banyak menyimbolkan idiom-idiom pertanian. Misalnya dalam dialognya, tema cerita yang diangkat tentang sawah, ladang dan kehidupan para petani di pedesaan.
Sandur diyakini sudah ada sejak zaman kerajaan, yang masih menganut animisme dan dinamisme. Setelah kemerdekaan, sekitar 1960-an, kesenian ini mengalami kemajuan sangat pesat.
Saat itu lembaga kebudayaan Lekra yang dicap berafiliasi ke PKI sedang giat-giatnya mengangkat kesenian rakyat ini. Hampir di setiap desa Kecamatan kota Bojonegoro memiliki kelompok kesenian sandur. Hal menjadikan kesenian Sandur kemudian mewabah di beberapa kota di sekitar Bojonegoro, seperti Tuban, Ngawi, Lamongan, bahkan Blora pada masa itu
Tahun 1965 setelah meletusnya peristiwa G 30 PKI kesenian Sandur mengalami kemunduran yang sangat drastis. Hal ini disebabkan Sandur dicurigai telah disusupi PKI. Situasi politik pada saat membuat kesenian Sandur tersudutkan dan mengalami kemunduran tajam.
Masyarakat penikmat Sandur di Bojonegoro menjadi antipati terhadap kesenian tersebut. Hingga pada tahun 1978 kesenian ini muncul kembali. Baru pada tahun 1993, Sandur mulai dipentaskan kembali pada festival kesenian rakyat. Berkat usaha dari seniman setempat, bekerja sama dengan Departemen Penerangan dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Hingga saat ini kesenian Sandur masih tetap eksis, meskipun semakin jarang. Kesenian yang lahir dari rahim masyarakat agraris ini, hampir punah keberadaan eksistensinya akibat kebudayaan luar.
Sandur Ala Madura
Di Madura pesta panen ini memiliki keunikan tersendiri. Kesenian Sandur Madura berbeda dengan Sandur lain nya. Perbedaannya terletak pada waktu pertunjukannya. Sandur Madura digelar sebagai rutinitas yang berkelanjutan, tidak melulu setelah panen. Biasanya masyarakat Madura mengadakan pertunjukkan ini ketika sedang mengadakan sebuah hajatan seperti pesta pernikahan, khitanan, dan sebagainya
Namun sandur juga kerap kali dihubungkan dengan remo atau pertemuan para Blater. Sandur Madura hampir sama dengan pertunjukkan Ludruk. Sama-sama ada sinden namun jumlahnya hanya dua orang saja yang biasa disebut Tandã’ (bahasa Madura).
Tandã’ Madura adalah laki-laki yang dirias dengan riasan wanita. Tandã’ menari dengan menggerakkan jari jarinya, mereka juga menyanyi menggunakan bahasa Madura. Di samping itu mereka juga menggunakan tetembangan yang diawali dengan sebuah prolog yang dilakukan salah satu wiyogo (pemukul gamelan atau panjhãk.)
Para pengunjung biasanya ikut menari dengan Tandã’setelah mendapat giliran. Ada orang yang tugasnya memanggil tamu-tamu untuk menari. Sebelum atau sesudah menari para tamu harus memberikan sejumlah
pada tempat yang telah disediakan Ketika menan saweran diberikan kepada para Tandek. Tradisi adalah bagian yang paling penting dari pertunjukkan kesenian Sondur Sandur remo seakan menjadi satu kesatuan kalangan masyarakat Madura
Namun sandur pula yang tidak terkait dengan remo, namanya Sandhur Pathel. Biasanya kesenian digelar kalangan masyarakat petani dan nelayan. Kesenian terkait dengan pemujaan makhluk gaib sebagai perantara kepada Tuhan, seperti zaman dahulu disebut pemujaan kaum animisme dan dinamisme. Bentuk upacara sama dengan Sandur Remo, berupa tarian nyayian yang diiringi musik. Bedanya tidak ada sumbangan uang. Karena bertentangan dengan ajaran Islam sehingga sekarang Sandur Pathel dilarang.
Dinukil dari buku The Hosrtory of Madura, penulis Samsul Ma’arif, Penerbit: Araska (2015)